Rabu, 16 Desember 2015

Setnop "Terpaksa" Mundur


          Tak dapat dipungkiri, manusia adalah makhluk Allah yang mulia. Kemulian manusia di atas  semua makhluk, termasuk malaikat. Kemulian manusia tergambar sangat jelas sejak awal penciptaannya. Allah SWT memerintahkan malaikat juga iblis untuk hormat kepada nabi Adam as, bapak manusia. Malaikat menaati, iblis menolak perintah.  Allah SWT memuliakan Adam as karena telah mengajarkannya berbagai pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimiliki menjadikan Adam as lebih mulia dibanding dengan malaikat dan iblis.
          Lebih jauh, kemulian manusia dikarenakan akal yang dimilikinya. Akal tidak dianugrahkan Allah pada makhluk lain. Akal telah mengangkat derajat manusia. Karenanya akal harus dijaga. Tidak berfungsinya akal akan mejatuhkan manusia pada derajat terendah. Dalam Al Alquran dijelaskan, mereka yang memiliki mata tapi tak melihat, memilki telinga tapi tak mendengar, memilki akal tapi tak bisa berpikir diibaratkan seperti binatang, bahkan lebih sesat. Untuk itu, Allah SWT seringkali memperingatkan manusia, apakah kalian menggunakan akal? Apakah kalian berpikir?
          Akal menjadi sesuatu yang sangat berharga. Keberadaannya menunjukkan keberadaan manusia. Manusia yang tak berakal karena gila misalnya tak bisa lagi menyandang predikat manusia, sang khalifah bumi. Akal merupakan identitas manusia yang tak terpisahkan. Akal didefinisikan sebagai suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah. (https://id.wikipedia.org/wiki/Akal)
          Akhir-akhir ini, publik dipusingkan dengan “Yang Mulia”. Sebuah sebutan yang khusus ditunjukkan kepada anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Dalam persidangan etik dengan teradu Ketua DPR, Setya Novanto dalam kasus papa minta saham,  MKD mengaharuskan pemanggilan atau penyebutan mereka dengan “Yang Mulia”. Entah apa motivasi dan tujuannya? Bisa jadi sebagai upaya menjaga kehormatan dan kemulian mereka secara verbal. Atau mereka sedang mempertahankan kemanusian  yang disandang, sebagai makhluk Allah yang termulia. Walau demikian, kehormatan dan kemulian mereka tetap dipertanyakan. Tentu bukan karena ungkapan “Yang Mulia” yang digunakan dalam persidangan tapi lebih jauh karena prilaku, sikap, pola pikir, logika yang dipertontonkan oleh mereka sendiri, yang jauh dari akal sehat.
          Ungkapan “Yang Mulia” bukan saja terasa ganjil di telinga, tapi menunujukkan bentuk feodalisme. Dan ungkapan itu sebenarnya sudah lama dihapus dari bumi Nusantara. Seperti yang diingatkan oleh Martin Hutabarat, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Parta Gerindra, bahwa sebutan “Yang Mulia” itu sudah dihapus  sejak 50 tahun yang lalu. Sebutan “Yang Mulia” telah dihapus oleh MPR dengan TAP MPR Nomor XXXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan “Paduka Yang Mulia” (PYM), “Yang Mulia (YM), “Paduka Tuan” (PT dengan sebutan Bapak/Ibu/ atau Saudara/Saudari.
Keputusan yang ditunggu
          Setelah kurang lebih satu bulan, kasus perpanjangan Freeport, pencatutan nama Presiden atau yang lebih dikenal dengan papa minta saham menjadi perhatian masyarakat, MKD telah menggelar sidang sebanyak empat kali. Tiga kali dilakukan terbuka, satu kali tertutup. MKD telah menyidangkan Sudirman Said sebagai pengadu, Setya Novanto sebagai teradu, dan dua orang saksi yakni Ma’ruf Syamsuddin serta Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan.  Dalam sidang MKD, rekaman pembicaraan Setya Novanto, Reza Chalid, dan  Ma’ruf Syamsuddin yang menjadi alat bukti diperdengarkan. Masyarakat dengan sangat jelas memahami betapa tidak etis pembicaran mereka.
          Kaitan dengan pertemuan,  baik Setya Novanto maupun Ma’ruf Syamsuddin telah mengakui, membenarkan. Bedanya, Setya Novanto  menolak rekaman dijadikan alat bukti karena dianggap ilegal. Setya Novanto juga  mempertanyakan kembali legal standing pengadu. Padahal dalam sidang sebelumnya MKD telah mendatangkan ahli bahasa untuk meminta pendapat terkait pasal tentang pengaduan. Dan MKD telah memutuskan untuk melanjutkan, memproses pengaduan Sudirman Said.
          Sepanjang persidangan, akrobatik politik dilakukan oleh anggota MKD. Berbagai cara, pola, logika ditampilkan. Sebagian anggota MKD sudah tak mampu melihat kebenaran dengan akal sehat. Logika mereka terlihat berputar-putar, mengesampingkan akal. Pertanyaanya, mampukah MKD menggunakan akal sehatnya dalam mengambil keputusan? Bila tidak, maka kemulian “Yang Mulia” akan menjadi bahan olok-olokan.
Rakyat dibuat gemas, kesal, dan marah menyaksikan mereka. Kepercayaan masyarakat pada MKD khususnya atau DPR umum berada pada titik paling rendah. Tokoh masyarakat hingga Presiden mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya dengan cara dan logika masing-masing. Bahkan seorang sosiolog Imam Prasejo mengungkapkannya dengan puisi yang bernada pedas, ijinkan aku meludai wajahmu yang mulia.        
Dan kemaren (16/12) menjadi klimaknya, saat MKD mengambil keputusan. Sandiwara, akrobatik politik  kembali dipentaskan, ditampilkan oleh anggota MKD. Diawali penundaan sidang karena belum memenuhi kuorum, disusul pemecatan Akbar Faisal dari Hanura yang sangat mencurigakan. Kemudian berbalik sikap sebagian dari anggota MKD menunjukkan betapa sandiwara dimainkan dengan penuh intrik, strategi saling jegal. Sandiwara, akrobatik yang mengesampingkan akal sehat melalalikan mereka bahwa rakyat sudah cerdas. Lebih lagi keterbukaan yang tak  terbendung
Dan panggung politik pun diakhiri dengan pengunduran diri Setya Novanto sebagai ketua DPR menjelang MKD memutuskan sanksi yang akan diambil. Walaupun kemunduran diri Setya Novanto dipahami oleh publik sebagai keterpaksaan karena keterdesakan, saat tak ada pilihan lain.
Akhir kata, kemulian “Yang Mulia” terselamatkan karena sebuah situasi dan kondisi.  Ujian kemulian belum selesai terlewati oleh MKD, situasi memutus. Setya Novanto mengundurkan diri. Akal sehat selama ini menjadi bahan permainkan para elit politik, anggota MKD. Ini harus menjadi pelajaran buat semua. Bahwa ke depan akal sehat, hati nurani harus jadi panglima. Akal harus menjadi penuntun. Maka kemulian akan menyertai kita semua.Wa Allahu Alam
Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon,  Senin, 17 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar