Rabu, 16 Desember 2015

PGRI Harus Profesional dan Mandiri


          Beberapa hari lalu (13/12), PGRI memperingati hari lahirnya yang ke 70. Bertempat di gelora Bung Karno, ribuan guru datang dari berbagai daerah. Mereka berdatangan mewakili daerah masing-masing. Nampaknya keberangkatan mereka ke Jakarta berdasarkan intruksi dari organisasi. Itu terlihat dari kehadiran setiap daerah, dari Aceh sampai Papua. Untuk daerah yang berdekatan dengan Jakarta pastinya lebih banyak, bisa jadi intrusksi sampai pada setiap kecamatan. Namun ada yang ganjil dari kegiatan cukup besar itu. Yakni keluarnya surat edaran dari Mendikbud dan Men PAN-RB yang melarang guru berangkat ke Jakarta. Alasanya, karena Hari Guru Nasional (HGN), yang kebetulan diambil dari hari lahir PGRI, telah dilaksanakan di tempat yang sama (GBK) pada tanggal 24 Nopember yang lalu.
          Perhelatan besar itu telah melahirkan kekecewaan para guru. Pasalnya, Presiden Jokowi yang dijanjikan akan datang oleh pengurus PGRI ternyata tak hadir. Kekecewaan guru atas ketidakhadiran Presiden Joko Widodo dalam HUT PGRI ke 70 itu terlihat saat Menteri Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani membacakan sambutan Presiden. Puan Maharani disoraki oleh masa guru yang hadir.
          Tidak hanya Presiden, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan juga tidak hadir. Hal ini menimbulkan tanya di kalangan guru yang hadir. Menurut Anies, dirinya tak diundang. Ia menilai acara yang biasanya digelar bersamaan dengan Hari Guru Nasional (HGN) itu merupakan acara internal PGRI.  Jadi, tak masalah bila ia tak diundang, tak datang. Menurut Anies pemerintah secara resmi telah menggelar acar puncak HGN pada tanggal 24 Nopember yang lalu. Acara itu dihadiri oleh Presiden Jokowi.  Acara tersebut digelar oleh pemerintah untuk semua guru Indonesia dan bukan hanya untuk guru yang tergabung dalam satu organisasi tertntu. Hari Guru Nasional (HGN) ditetapkan lewat Keppres Nomor 78/1994 sebagai peringatan resmi negara. Dan kemaren (24/11), pemerintah untuk pertama kalinya  menyelenggarakan HGN sebagai sebuah acara negara untuk semua guru Indonesia. (http://news.liputan6.com/)
          Menurut hemat saya, ada beberapa pesan penting yang yang  harus dipahami oleh guru atas ketidakhadiran presiden. Pertama, pemerintah ingin merangkul semua organisasi guru yang ada. Pemerintah tidak ingin membedakan satu dengan yang lain. Semua diperlakukan secara sama. Dan itu diperlihatkan dalam peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Dalam acara tersebut, pemerintah melibatkan, mengundang seluruh organisasi guru yang ada. Pemerintah tak mengistimewakan yang satu atas yang lain.
Kedua, PGRI diharapkan tidak terjebak pada politik praktis. Seperti diketahui oleh khalayak umum, PGRI selama ini sangat mendominasi para guru. Kemudian PGRI kerapkali dijadikan alat politik oleh pemerintah baik di pusat atau di daerah. Bahkan sampai saat ini, di beberapa daerah, PGRI masih digunakan tunggangan politik oleh oknum kepala daerah. Suara mereka dalam pemilihan apapun selalu diperebutkan oleh politisi. Dan saat itu, PGRI kerapkali mengarahkan suara guru ke pihak tertentu. Tentu itu tidak gratis, kepentingan senantiasa mengikuti. Ke depan, PGRI harus independen. PGRI tak boleh berpolitik. Ketidakhadiran presiden sebagai sinyal agar PGRI berlepas diri dari ketergantungan pada pemerintah.
          Ketiga, pemerintah memberi kesempatan yang sama pada semua organisasi guru untuk mengembangkan diri. Seperti diketahui, pasca reformasi PGRI tidak lagi mejadi satu-satunya organisasi guru di tanah air. Ada organisai guru yang lain seperti Federasi Guru Independen  Indonesia (FGII), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), juga yang lain. Pemerintah mendambahkan semua organisasi guru berkembang secara profesional, mandiri, dan independen. Karenanya, semua organisai guru harus fokus mengembangkan diri. Sebagai organisasi profesi, ormas-ormas itu harus mampu menghadirkan guru yang berkualitas dan profesional.   
Saran untuk PGRI
          Untuk menghadirkan PGRI yang lebih profesional, mandri, juga independen saya menyarankan hal-hal berikut, pertama, memisahkan guru dan dosen. Selama ini mereka bergabung dengan PGRI. Walau harus diakui, kepatuhan dan partisipasi pada organisasi,  para dosen tidak terlihat sama seklai. Walau demikian dosen telah mendominasi kepengurusan baik di tingkat kabupaten, propinsi, sampai pusat. Dosen lebih baik berkonsrntrasi mengembangkan, dan megemban misi tri darma perguruan tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Pemisahan ini bukan berarti ketidaksukaan atas kehadiran dosen di PGRI, tetapi semata-mata untuk tujuan agar masing-masing dapat fokus pada fungsi dan profesionalismenya.
          Kedua, pengurus harus diseterilkan dari para pejabat. Selama ini pengurus PGRI didominasi oleh para pejabat seperti kepala dinas atau instansi di level kabupaten. Para pengurus idealnya adalah guru, bukan mantan guru, apalagi pejabat. Sehingga mereka mampu membawa organisasi guru terbesar itu menjadi profesional, maju. Sebab hanya guru yang mengetahui secara persis permasalahan yang dihadapi, juga solusi yang akan diambil. Kepentingan guru di level paling bawah seringkali tak terakomodasi dan terabaikan oleh PGRI karana pengurus yang bukan guru itu pada hakekatnya tak memahami pesoalan guru.
          Ketiga, PGRI harus netral, independen dan mandiri. PGRI tak boleh bergantung dengan pemerintah baik di daerah maupun pusat. PGRI tidak boleh terjebak pada kepentingan politik praktis di setiap levelnya. Ketergantungan PGRI pada pemerintah akan dengan mudah dimanfaatkan, dipolitisasi. Dan ini harus dihindari.
          Keempat, PGRI lebih fokus mengembangkan profesionalisme guru. PGRI harus mampu mengembangkan guru lebih profesional. Apalagi di era sertifikasi seperti sekarang, guru mendapat sorotan tajam, negatif dari masyarakat juga pemerintah. Profesionalisme guru dianggap tak berkembang, kenerja mereka dianggap stagnan setelah mereka menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG). Ini harus disikapi oleh PGRI. PGRI harus mendorong guru lebih profesional. Dengan demkian, keberadaan PGRI akan terasa.
          Akhir kata, ketidakhadiran Jokowi dalam HUT PGRI ke 70 kemaren harus dipahami secara positif. Ini sebuah sinyal dari presiden untuk PGRI agar dapat mandiri, tak bergantung pada pemerintah. Kesempatan ini harus dimanfaatkan. PGRI harus melepaskan diri, tidak boleh lagi dimanfaatkan atau memanfaatkan, terjebak dalam kepentingan politik praktis. PGRI harus mampu keluar. Paradigma PGRI harus berubah. Berdasarkan pengalaman,  sejak orde baru, PGRI kerapkali menjadi atau dijadikan tungangan politik pihak tertentu. Hal ini yang mengahmbat kemandirian PGRI. PGRI tak lagi menjadi organisasi profesi yang mampu melahirkan, menghadirkan guru profesional seperti tuntutan pemerintah dalam program Tunjangan Guru Profesional (TPG).Wa Allau Alam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar