Minggu, 06 Desember 2015

Petahana di Pilkada 2015


          Petahana (bahasa Inggris: incumbent), berasal dari kata "tahana", yang berarti kedudukan, kebesaran, atau kemuliaan  dalam politik, adalah istilah bagi pemegang suatu jabatan politik yang sedang menjabat. Istilah ini biasanya digunakan dalam kaitannya dengan pemilihan umum, di mana sering terjadi persaingan antara kandidat petahana dan non petahana. Sebagai contoh, pada Pemilihan umum Presiden Indonesia 2009, Susilo Bambang Yudhoyono adalah petahana, karena ialah presiden yang sedang menjabat pada saat pemilihan umum untuk pelaksanaan pemilihan presiden berikutnya. Dalam persaingan kursi-terbuka (di mana sang petahana tidak mencalonkan diri), istilah "petahana" terkadang digunakan untuk merujuk kepada kandidat dari partai yang masih memegang jabatan kekuasaan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Petahana)
          Dalam pemilhan kepala daerah (Pilkada) 2015, berdasarakan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), cukup banyak calon kepala daerah merupakan  petahana. Mereka mencalonkan kembali baik sebagai gubernur, wakil gubernur atau Walikota/Bupati, Wakil Walikota/Bupati. Husni Kamil Malik, ketua KPU menyatakan ada 167 calon kepala daerah yang berasal dari calon petahana. Di antara mereka, 12 calon  Gubernur dan Wakil Gubernur, 29 calon  Walikota dan Wakil Walikota, dan 126 calon Bupati dan Wakil Bupati. Sebanyak 146 calon, mencalonkan diri daerah yang sama. Sedangkan 21 calon lainnya mencalonkan diri di daerah yang lain. Hasil rekapitulasi KPU menyebutkan total ada 838 pasangan calon yang bakal bertarung dalam Pilkada serentak di 269 daerah, 9 Desember besok. Dari pasangan calon tersebut 155 pasangan calon maju lewat jalur perseorangan. Sedangkan 683 pasangan calon lain, maju lewat dukungan partai politik. (http://news.detik.com/)        Berdasarkan  data di atas, dari 269 daerah yang menyelenggarkan Pilkada,  167 daerah  di antaranya terdapat calon petahana. Dengan demikian, dapat disimpulkan calon petahana akan kembali bertarung memperebutkan kepala daerah di 55 % daerah. Ini angka yang cukup signifikan.  Ternyata banyak kepala daerah yang maju lagi, bersaing memperebutkan hati rakyat (pemilih) guna menjadi kepala daerah yang kedua kalinya.
Kenapa mencalonkan lagi?
          Menunurut hemat saya, ada beberapa sebab kenapa mereka, para petahana mencalonkan diri lagi. Diantaranya, pertama, merasa berhasil, pembangunan perlu dilanjutkan. Ukuran keberhasilan kepala daerah merupakan sesuatu yang sangat relatif. Pendapat setiap orang bisa berbeda-beda. Secara sederhana, publik beranggapan kepala daerah yang tidak terkena kasus hukum selama menjabat maka dianggap sukses, berhasil. Klaim keberhasilan oleh kepala daerah pun diterima khalayak. Karena itu, pembangunan harus dilanjutkan. Ketika logika keberhasilan dipahami, tidak ada alasan bagi kepala daerah untuk tidak mencalonkan kembali. Terlebih, sudah menjadi watak manusia tidak pernah merasa cukup. Sudah berhasil menjadi pemimpin ingin kembali memimpin.
          Kedua, dorongan kroni. Kroni adalah kerabat, teman dekat dan pendukung. Mereka yang selama ini merasakan manfaat dan keuntungan langsung dari kepala daerah. Mereka memperoleh tender dalam proyek pembangunan di daerah. Para kroni sering mendapat kemudahan dalam berbagai hal. Keadaan seperti ini yang mendorong mereka untuk mendukung kepala daerah mencalonkan kembali. Kroni menjadi mesin penggerak utama pencalonan. Mereka berani mengeluarkan dana besar untuk keberhasilan sang petahana.
          Ketiga, dorongan rakyat. Bagi kepala daerah yang dianggap sukses oleh mayoritas rakyat biasa diminta kembali untuk mencalonkan diri. Dorongan kuat dari rakyat tak akan bisa terbendung,  memaksa kepala daerah yang bersangkutan mencalonkan kembali. Bagi kepala daerah seperti ini, kemenangan sudah  di depan mata.
Permasalahanya
          Kehadiran calon petahana dalam Pilkada 2015 menjadi persoalan tersendiri. Petahana dianggap sebagai calon yang tidak bisa sportif, bertarung dengan jujur.  Kecenderungan petahana berbuat curang diyakini sangat besar oleh masyarakat luas. Berikut kecenderungan itu, pertama, potensi menggunakan birokrasi dan PNS menjadi mesin politik. Bagi birokrasi Pilkada seperti buah simalakama. Karena petahana menggunakan mereka menjadi mesin politik untuk kemenangannya. Posisi mereka menjadi serba salah. Di depan mereka ada tarik ulur politik. Tidak mendukung  diancam sanksi birokrasi seperti mutasi atau lainnya. Sementara memihak bertentangan dengan  UU  No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Penggunaan birokrasi sebagai mesin politik seperti ini yang disebut oleh Sri Yuliani, dosen FISI UNS sebagai man in the middle yakni birokrasi sebagai kepanjangan tangan penguasa. (http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/)
          Kedua, menyalahgunakan wewenang. Menjelang berakhirnya masa jabatan, petahana berusaha meningkatkan pembangunan. Petahana dengan agresifnya membuktikan janji ke tengah-tengah masyarakat, yang dikemasnya sedemikian rupa melalui kegiatan-kegiatan pembangunan yang didanai APBD. Petahana rajin menyambangi rakyat dengan merealisasikan berbagai hal dari perbaikan jalan, bantuan ke masjid, membangun sekolah, sampai menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Ada beberapa pos anggaran yang bisa digunakan untuk itu semua. Salah satu pos yang paling mudah dipergunakan adalah pos bantuan sosial (bansos).  Dari laporan audit BPK, pos anggaran ini kerap membengkak menjelang Pilkada.
          Menurut Ali Masykur (2012), diduga ada tiga modus yang digunakan dalam penyalahgunaan dana bansos. Pertama, usulan proposal fiktif, yang mengatasnamakan lembaga tertentu, tetapi kenyataannya lembaga tersebut tidak ada.  Kedua, dana yang diterima pihak yang berhak menerima tidak sesuai besaran. Pembuat proposal yang dianggap hanya bermodal kertas dan cap, dianggap sudah terbantu dengan dana seadanya tersebut karena dianggap tidak memerlukan upaya yang signifikan, tetapi merekalah yang menggolkannya. Ketiga, berhubungan dengan prosesi politik atau Pilkada. Beberapa penelitan menunjukkan pos bansos ini membengkak mendekati masa perhelatan politik, utamanya ketika ada calon peserta yang berasal dari petahana. 
          Singkat kata, kehadiran petahana di Pilkada 2015 merupakan fenomena demokrasi kita. Mereka hadir meramaikan persaingan. Walau kehadiran mereka dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan karena potensi dan kecenderungan mereka dalam menyalahgunakan wewenang, berbuat curang, memaksa birokrasi dan PNS menjadi mesin politik, bagi masyarakat yang melek politik hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Pemilih yang melek politik mampu membedakan pemimpin yang berkualitas, memiliki komitmen kuat membangun, jujur, serta berakhlak mulia. Maka apa pun kecurangan yang dilakukan para pasangan calon (baik petahana atau tidak), pemilih yang cerdas tak akan terjebak.Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar