Rabu, 30 Desember 2015

Politik Gaduh DPR, Catatan Akhir Tahun


          Politik diartikan sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.  Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sedangkan gaduh dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai rusuh dan gempar karena perkelahian (percecokan dan lainnya), keributan dan hura-hura. (http://kbbi.web.id/gaduh)
          Melihat arti dua kata di atas, politik gaduh dapat dipahami sebagai ribut-ribut memperebutkan dan meraih kekuasaan, jabatan, kepentingan baik secara konstitusional maupun non konstitusional. Istilah politik gaduh di tanah air baru muncul di era pemerintahan Jokowi-JK. Istilah “politik gaduh” dikenal publik setelah presiden Jokowi meminta kepada DPR, para politisi,  semua pihak untuk tidak selalu menciptakan kegaduhan politik. Sebab, menurut presiden, kegaduhan akan memecah konsentrasi, energi, juga waktu dalam bekerja, menjalankan roda pemerintahan.
          Peringatan Presiden  Jokowi itu tentu bukan tanpa alasan. Di mata Jokowi, pergulatan, dinamika politik di gedung DPR sebagai simbol rumahnya poltisi sudah melampaui batas kewajaran. Jokowi menyebutnya gaduh. Sejak pelantikan, mereka membuat kegaduhan, berebut kepemimpinan, alat kelengkapan dewan dan lainnya. Berbulan-bulan Koalisi Merah Putih  (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bergelut dalam kegaduhan, keributan, perkelahian. Mereka tak ubahnya anak TK berebut mainan, meminjam istilahnya Gusdur. Mereka saling jegal, saling memojokkan  sampai ada wacana  DPR tandingan. Kegaduhan mereka tak sebatas bahasa verbal tapi sudah pada kekerasan fisik seperti adu jotos, membanting meja, melempar botol air minuman dan lainnya.
Kegaduhan selama 2015
          Saya mencatat sepanjang tahun 2015, kinerja DPR RI jauh jauh dari kata memuaskan kalau tidak mau menyebut mengecwakan. Bahkan sebagian kalangan berkeyakinan bahwa kinerja anggota DPR periode ini sebagai yang terburuk. Itu dapat diukur dari legislasi sebagai salah satu fungsi dewan. Selama tahun 2015, bahkan sejak dilantik, DPR hanya mengesahkan tiga undang-undang. Itu pun dua diantaranya berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang tak banyak menguras energi dan waktu, hanya mengesahkan. Satu UU merupakan hasil jerih payah mereka, menunjukkan betapa mereka makan gaji buta selama setahun. Akibatnya, DPR menjadi lumpuh dan tidak bisa menjalankan fungsi dan perannya dengan baik bagi pemerintahan Jokowi-JK.
 Kegaduhan politik telah mempertontonkan perilaku politik anggota DPR yang tak santun kepada rakyat Indonesia. Menurut peneliti FORMAPPI, Lucius Karus, kinerja buruk tersebut tak lepas dari pertikaian dan tarik menarik kepentingan politik berkepanjangan antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). (http://korankota.co.id/)
          Waktu dan energi anggota dewan yang terhormat itu habis dalam kegaduhan, keributan politik dengan isu-isu yang dimunculkan oleh mereka sendiri. Berikut saya mencatatnya sebagiannya,  pertama,  isu pemilihan kepala daerah. Tarik ulur apakah kepala daerah dipilih langsung atau dipilih DPRD menjadi polemik di akhir tahun 2014 dan mengawali kegaduhan di awal tahun 2015. Tarik ulur itu dipahami oleh rakyat bukan karena kepentingan bangsa dan negara tapi semata-mata untuk kepentingan kepentingan kelompok masing-masing. Konflik berkepanjangan itu berakhir dengan disahkannya UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tertanggal 20 Januari 2015.
          Kedua, terkait dana aspirasi. Dana aspirasi adalah  dana pembangunan yang dianggarkan oleh pemerintah pusat untuk daerah mengacuh pada aspirasi setiap anggota DPR. Setiap anggota DPR akan mengusulkan aspirasi pembangunan di dapilnya, dianggarkan setiap anggota sebesar 20 miliar.  Dana aspirasi diusulkan oleh fraksi Partai Golkar. Awalnya sejumlah fraksi seperti Demokrat, PPP, PAN, PDIP, Gerindra, PKS, Hanura menolak, tapi dalam rapat Badan Anggaran pada tanggal 15 Juni 2015, tak satu fraksi pun yang menolak, dana aspirasi akhirnya menjadi usulan resmi. Dana aspirasi mendapat penolakan keras dari rakyat, tapi anggota DPR tak menggubrisnya. Mereka buta mata, buta hati demi 20 miliar per anggota. Padahal DPR tidak dalam kapasitas sebagai ekskutor (baca:pelaksana) anggaran seperti ditegaskan Undanng-undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2.
          Ketiga, proyek megah DPR. Usulan atau tepatnya wacana internal DPR tentang proyek megah itu sempat menjebak Presiden. Jebakan Bath Man itu dengan cerdas dipahami oleh Jokowi. Di tengah kemerian HUT RI ke 70, Presiden Jokowi batal menandatangani prasasti Penataan Kompleks Parlemen yang diminta DPR usai pemyampaian pidato kenegaraan tentang nota keuangan RAPBN 2016 pada 14 Agustus 2015. Sebelumnya, Ketua DPR Setya Novanto dalam sambutannya meminta Presiden meneken prasasti. Tapi, ketika mengunjungi museum, Jokowi tak membubuhkan tanda tangan. Ia hanya melihat-lihat proyek tersebut bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pimpinan DPR selama sekitar 15 menit.
          Keempat, sidang etik papa minta saham. Berawal dari dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam proses perpanjangan kontrak PT Freeport oleh Setya Novanto, Ketua DPR itu telah membuat rakyat geram, marah, dan kecewa pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pasalnya persoalan yang sebenarnya sangat gamblang, mudah diputuskan karena bukti yang terang benerang dibuat rumit. Mereka berputar-putar, berlogika dengan mengesampingkan akal. Hampir dua bulan energi bangsa ini terkuras untuk kasus ini.
Saran
          Sebagai komuntas terdidik, terpilih serta terhormat, anggota DPR selayaknya menjadikan kinerja tahun pertama yang buruk ini menjadi pelajaran. Bahwa kegaduhan politik hanya membuang waktu, energi. Harus dipahami masih banyak persoalan bangsa dan negara yang lebih membutuhkan perhatian dan konsentrasi DPR soal legislasi misalnya. Berdasarkan catatan, ada 160 RUU yang harus dibahas, disahkan oleh DPR. Bila kinerja mereka hanya membuat kegaduhan, dipastikan nasib RUU tersebut akan terbengkalai. (http://www.dpr.go.id/)
          Akhir kata, sebagai lembaga yang mewakili rakyat,  DPR seharusnya meletakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan  golongan. Kegaduhan politk yang berlatarbelakang kepentingan pribadi dan kelompok tidak boleh muncul kembali di tahun 2016 yang akan datang. Bila hal ini tidak diperhatikan, jangan salahkan bila tingkat keperayaan rakyat akan menurun secara dratis. DPR akan berada di titik paling nadzir. Partai politik sebagai produsen anggota dewan akan menerima dampaknya. Karena itu, para pemimpin partai politk harus menyadari. Bukankah kegaduhan selama ini juga akibat pimpinan partai atau elit politik yang tidak mampu memberi teladan? Wa Allahu Alam

         
         

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar