Rabu, 18 November 2015

Politisi, Makelar dan Nasib Bangsa


          Politisi adalah sebutan untuk aktor atau pelaku politik. Politikus atau politisi  adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Dalam demokrasi Barat, istilah ini biasa terbatas kepada mereka yang menjabat atau sedang mencoba mendapatkannya daripada digunakan untuk merujuk kepada para ahli yang dipekerjakan oleh orang-orang yang tersebut di atas. Perbedaan seperti ini tidak begitu jelas jika berpedoman pada pemerintahan yang non-demokratis. Dalam sebuah negara, para politikus membentuk bagian eksekutif dari sebuah pemerintah dan kantor sang pemimpin negara serta bagian legislatif, dan pemerintah di tingkat regional dan lokal. (https://id.wikipedia.org/wiki/Politikus)
          Makelar dalam bahasa lain calo, biasa dipahami sebagai perantara yang memfasilitasi kebutuhan kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makelar diartikan sebagai pedagang perantara yang menghubungkan pedagang satu dengan yang lain dalam hal jual beli atau antara penjual dan pembeli (saham dan sebagainya); cengkau; makelar; pialang. Istilah makelar lazim digunakan dalam dunia dagang atau bisnis, tetapi tak menutup kemungkinan istilah itu digunakan pada hal-hal lain seperti politik.
          Dua kata di atas sekarang menjadi pembicaraan ramai rakyat Indonesia. Pasalnya ada dugaan kuat seorang politisi berpengaruh telah melakukan tindakan makelar dalam upaya proses perpanjangan kontrak PT Preport. Adalah  Menteri ESDM, Sudirman Said orang yang melempar isu panas tersebut. Sudirman menyebutkan,  ada upaya tindakan makelar dari seorang politisi kuat  Indonesia dalam usaha perpanjangan kontrak PT Preport. Tidak cukup hanya itu, yang bersangkutan pun mencatut nama presiden dan wakil presiden. Dengan menjanjikan akan menjamin perpanjangan kontrak, sang politisi meminta jatah sebagai fee atas jasanya. Angka yang dipatok sangat fantastis yakni 20 persen, dikatakannya 11 persen untuk presiden dan 9 persen untuk wakil presiden. Bila diperkirakan (pada tahun 2014) nilai total saham PT Preport sebesar Rp. 500 Trilyun, maka nilai 20% yang diminta itu senilai Rp.100 Trilyun. Luar biasa, sebuah percaloan maha dahsyat.
          Kemaren Senin 16 Nopember 2015,  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan politisi DPR yang disebutnya mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada PT Freeport Indonesia. Laporan itu disampaikan Sudirman kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (DPR). Menurut Sudirman, berdasarkan informasi yang diterimanya, politisi itu telah beberapa kali menemui pihak Freeport dengan sejumlah pengusaha lain untuk membicarakan mengenai persoalan perpanjangan kontrak.
Pertemuan dilakukan sebanyak tiga kali. Politisi itu meminta saham 20 persen dengan menjanjikan proses renegosiasi kontrak Freeport berjalan mulus. Menurut Sudirman, janji itu disampaikan politisi tersebut pada pertemuan ketiga yang digelar di salah satu hotel di kawasan Pacific Place SCBD, Jakarta, pada 8 Juni 2015 antara pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB. Tak hanya itu, menurut Sudirman, politisi itu juga meminta agar diberi saham suatu proyek listrik yang akan dibangun di Timika dan meminta PT Freeport menjadi investor sekaligus pembeli tenaga listrik yang dihasilkan dari proyek tersebut.
Di depan wartawan, usai melapor ke MKD DPR RI,  Sudirman enggan menjawab, menyebut siapa pelaku pencatut nama presiden sekaligus makelar perpanjangan kontrak preport itu. Sudirman beralasan untuk asas yang baik, nama itu sudah dilaporkannya ke MKD. Namun di tempat terpisah, dalam sebuah acara televisi, Sudirman tak membantah ketika dikonfirmasi bahwa pelakunya adala Setya Novanto  Ketua DPR RI.
Setya Novanto sendiri dalam berbagai kesempatan, jauh sebelum Sudirman Said melapor ke MKD, telah menolak dugaan adanya anggota DPR yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden dalam upaya perpanjangan kontrak PT Preport. Seakan ia sudah mengetahui bahwa dirinya yang akan menjadi tertuduh. Pembelaan secara dini seperti ini yang dipertanyakan oleh publik, ada apa sebenarnya dengan Ketua DPR?
Nasib  dan martabat bangsa
          Berita di atas tentu sangat mengejutkan. Selama ini sebagian politisi memang kerap mempermainkan segala untuk mengejar kepentingan, termasuk nasib bangsa yang menjadi taruhan. Tapi kali ini berbeda, permainan mereka disertai mencatut nama Presiden dan wakil presiden. Menjadi rahasia umum, banyak politisi menjadi makelar. Tapi tidak lazim, bila sekelas Ketua DPR yang melakukannya,  secara langsung lagi. Kalau  berita di atas sebuah kebenaran (baca:fakta) tentu  menyedihkan, mengecewakan  semua rakyat yang diwakilinya, terutama saudara-saudara kita di Papua.
          Tidak sekadar mempermainkan nasib bangsa, lebih jauh,  menurut hemat saya, Ketua DPR Setya Novanto  juga telah merendahkan martabat Presiden Republik Indonesia. Padahal Presiden adalah simbol negara dan bangsa. Jokowi menjadi Presiden setelah menerima mandat dari rakyat. Oleh karena itu  pencatutan nama Presiden merupakan pelecehan kepada bangsa dan negara. Artinya bila  Setya Novanto, sang Ketua DPR yang terhormat itu terbukti melakukan pencatutan nama terhadap Presiden berarti ia telah  melecehkan martabat bangsa, menjual negaranya. Setya Novanto berpesta-pora di atas kemelaratan dan kemiskinan rakyatnya. Sungguh perbuatan yang sangat tidak terpuji, sangat menyakitkan hati. Tak pantas dilakukan oleh orang terhormat sekelas Ketua DPR.
          Sekarang bola panas  berada di tangan MKD DPR. Mampukah MKD bertindak tegas? Mampukah MKD berbuat adil? Melihat pengalaman sebelumnya, nampaknya kita harus siap kembali dikecewakan. MKD DPR tak akan bisa berbuat banyak. Mereka kerap kali tak berani menjatuhkan sanksi yang memadai, sesuai persoalan yang diadukan kepada teman sejawat sesama anggota dewan. Terlebih lagi terkait dengan sepak terjang pimpinan DPR RI. Terbukti persoalan dugaan pelecehan martabat bangsa dan negara terkait kehadiran Ketua DPR bersama rombongan  dalam sebuah acara kampanye bakal calon Presiden Amerika Donal Trumph beberapa waktu lalu hanya dijatuhi hukuman ringan. Padahal panggilan MKD DPR tak pernah dihadiri, tak pernah digubris oleh yang bersangkutan.        
          Jika MKD tak bisa diandalkan, maka salayaknya Presiden dan Wakil Presiden membawanya ke jalur hukum. Sepantasnya mereka berdua melaporkannya ke kepolisian. Polri pasti siap memproses. Ini pembelajaran buat semua, bahwa hukum harus ditegakan. Hukum harus adil, tidak tebang pilih. Semua orang sama di mata hukum. Presiden harus memberi contoh bahwa penyelesaian terbaik adalah di depan hukum.
          Akhir kata, politisi idealnya bukan makelar. Kalaupun harus menjadi makelar, maka jadilah makelar rakyat. Yakni makelar yang menghubungkan rakyat dengan kesejahteraannya. Bukan makelar yang justru mempermainkan, memjual nasib rakyat pada pihak asing untuk meraih kepentingan pribadi. Wa Allahu Alam
(Tulisan ini dimuat di Harian Umum Radar Cirebon Rabu 18 Nopember 2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar