Minggu, 08 November 2015

Jokowi dan Broker


          Broker adalah kata lain dari makelar. Makelar dalam bahasa lain calo, biasa dipahami sebagai perantara yang memfasilitasi kebutuhan kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Broker diartikan sebagai pedagang perantara yang menghubungkan pedagang satu dengan yang lain dalam hal jual beli atau antara penjual dan pembeli (saham dan sebagainya); cengkau; makelar; pialang. Istilah broker lazim digunakan dalam dunia dagang atau bisnis, tetapi tak menutup kemungkinan istilah itu digunakan pada hal-hal lain seperti politik.
          Sekarang apa hubunganya dengan Jokowi? Presiden Jokowi dituding menggunakan jasa broker untuk mengatur pertemuannya dengan presidesn Barack Obama. Jokowi menggunakan jasa Pereira International Pte, sebuah perusahaan konsultan politik asal Singapura. Konon, untuk urusan jasa terebut, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar Negeri harus membayar 80 ribu dolar AS atau sekitar 1.08 milyar rupiah. Luar biasa, itu bukan angka yang sedikit.
          Adalah Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London yang pertama kali menyebut permasalan tersebut, yang bisa menjadi skandal besar bila terbukti. Michael Buehler menulis artikel  berjudul 'Waiting In The White House Lobby”.  Seperti dilansir New Mandala http://asiapacific.anu.edu.au, Jumat, (6/11/), Michael Buehler, mengungkap adanya perjanjian jasa yang dibuat tanggal 8 Juni 2015.  Perjanjian itu tercatat di Departemen Kehakiman AS di bawah aturan Forign Agent Registration Act (FARA) pada 17 Juni 2015. Dalam perjanjian, mengungkap adanya kerja sama perusahaan konsultan Singapura bernama Pereira International Pte LTD dengan PR asal Las Vegas, R&R Partners Inc. Dalam dokument tersebut terungkap adanya kerja sama  dengan nilai kontrak 80 ribu dolas AS. Perjanjian itu sendiri ditandatangani oleh Sean Tonner sebagai Presiden R&R Partners Inc dan Derwin Pereira mewakili Pereira International Pte LTD.
          Kaitan dengan di atas, Kementerian Luar Negeri, yang disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi,  telah membantah semuanya.  Meski mengakui jika menyusun kunjungan bilateral sulit, namun Retno Marsudi  menegaskan pemerintah Indonesia tidak pernah menggunakan broker. Kementerian luar negeri telah berkordinasi dengan lembaga terkait sepuluh kali. Kementerian lain juga melakukan pertemuan untuk melakukan persetujuan MOU hasil kunjungan. Terakhir Retno Marsudi mengaku melakukan pertemuan dengan Jhon Carry pada 22 September, untuk membicarakan tujuan kunjungan pada tanggal 26 Oktober tersebut. Retno Marsudi, bahkan mengaku telah memimpin rapat persiapan kunjungan selama tiga kali pada level menteri di tanah air. Itu dilakukan pada tanggal 17 November, 07, 17 Oktober 2015.
Bantahan serupa juga telah disampaikan oleh Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Budi Bowoleksono. Menurutnya, pertemuan itu telah direncanakan jauh hari. Berawal dari pertemuan pertama Presiden Jokowi dan Presiden Obama terjadi di Beijing saat APEC 2014 dan sejak saat itu Presiden Obama telah mengundang Presiden Joko Widodo ke AS. Selain itu, Presiden Obama melalui surat resmi tertanggal 16 Maret 2015 disampaikan kepada Presiden Jokowi, mengundang secara resmi untuk berkunjung ke Amerika Serikat. Jokowi pun membalas surat tersebut  pada tanggal 19 Juni 2015, menyatakan kesediannya, berkunjung ke Washington DC pada tanggal 26 Oktober 2015, setelah kedua negara menyepakati waktu yang sesuai bagi Kedua Kepala Negara.
Pihak KBRI telah mengonsultasikan dengan Menteri Luar Negeri dan kepala staf Kepresidenan yang kemudian menjadi Menko Polhukam agar kunjungan Presiden RI dapat menghasilkan hal-hal konkret baik yang bersifat strategis maupun komitmen bisnis sesuai kepentingan nasional Indonesia. Dari situlah kedua kepala negara ini menyepakati waktu kunjungan di Gedung Putih pada 25-27 Oktober 2015. Selain itu,  Budi Bowoleksono menegaskan, sejak November 2014, sesuai instruksi Menlu RI, KBRI Washington DC telah mempersiapkan kunjungan Presiden RI ke AS baik menyusun program maupun memastikan hasil yang konkrit dari kunjungan tersebut. (http://www.republika.co.id/)
Catatan untuk kita
            Mengamati perkembangan politik di atas, ada beberapa catatan kecil yang dapat dijadikan bahan pertimbangan berpikir dan bersikap kita semua, pertama, sikap kritis. Kritis terhadap setiap informasi yang diterima. Jangan menerima mentah-mentah setiap informasi yang ada. Apalagi, ini ranah politik. Banyak kepentingan di dalamnya. Kepentingan bisa datang dari dalam atau luar negeri. Dari dalam, seperti kita ketahui, Jokowi setiap saat menjadi sasaran tembak oleh lawan politiknya dari barisan KMP. Dari luar, posisi Indonesia yang cendrung lebih terbuka terhadap Rusia dan Cina dibanding Amerika Serikat tentu menjadi persoalan tersendiri. Di sini kejernihan berpikir dbutuhkan. Mengedepankan rasio  dari emosi berlebihan baik karena cinta buta atau kebencian membara terhadap sosok Presiden Jokowi. Karena akhir-akhir ini, saya melihat (terutama di media sosial), bangsa kita terbelah mejadi pecinta dan pembenci Jokowi. Efek negatif Pilpres setahun yang lalu nampaknya belum hilang sepenuhnya.
          Kedua, selama ini, Presiden Jokowi sangat anti terhadap hal-hal yang bersifat percaloan, makelar, mafia dalam pemerintahannya. Jokowi berusaha keras membrantas setiap mafia. Mafia migas, mafia import, mafia hukum,  dan lainnya semua dibrangus. Petral, yang diyakini sebagai mafia atau broker dalam tubuh Pertamina yang merugikan telah ditutup. Import dibatasi karena disinyalir banyak mafia atau broker di dalamnya. Melihat latar belakang hal di atas rasanya sulit dipercaya Jokowi menggunakan jasa broker dalam pertemuannya dengan Presiden Barack Obama, kecuali  Jokowi sudah berubah.  Atau hal itu dilakukan oleh bawahannya, tanpa sepengetahuannya. Jokowi juga terlihat berupaya berdiri sejajar dengan bangsa lain termasuk Amerika Serikat sampai orang yang bersebrangan denganya menganggapnya  sebagai kecongkakan dan kesombongan.
          Ketiga, menggunakan jasa broker jelas merendahkan martabat bangsa dan negara. Saya yakin, semua dari kita menyepakati hal itu. Kemudian menggunakan jasa broker bertentangan dengan sikap politik luar negeri Indonesia yang seharusnya, sesuai dengan UUD 1945. Politik luar negeri bebas aktif jelas tidak tercermin dalam  pilihan menggunakan jasa broker seperti itu.
          Keempat, mewaspadai setiap usaha memecah bela. Isu atau persoalan Jokowi dan broker berpotensi memecah bela persatuan dan kebersamaan kita semua sebagai bangsa. Isu seperti ini tidak harus membuat kita semua menjadi gaduh.
          Walhasil,  Jokowi dan broker sekarang menjadi top isue di pentas publik Indonesia. Persoalan apakah keduanya ada keterkaitan dalam pertemuan Jokowi dan Barack Obama pada 26 Oktober lalu hanya waktu yang akan membuktikan. Yang pasti, siapa pun kita pasti akan menolak apa yang disebut broker, mafia, atau istilah lainnya.Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar