Selasa, 24 November 2015

Republik Garong Indonesia


Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif mengaku geram dengan berbagai kasus yang menimpa negeri ini. Dalam wawancara di salah satu TV swasta Selasa malam (24/11), tokoh nasional itu sampai menjuluki negeri ini sebagai Republik Garong.  Kasus terakhir yang jadi sorotan pria yang akrab disapa Buya ini adalah kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla terkait kontrak karya Freeport yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.  Dia mengaku sempat bertukar pikiran dengan Wapres Jusuf Kalla, juga dengan Menteri ESDM Sudirman Said. Selain soal Freeport, beberapa hal lainnya juga dibahas. Membahas negara, tentang bangsa yang lesu,  segala macam. Bahkan saya dengar mulai Januari gaji pegawai mulai meningkat. Sementara kelakuan sebagian politisi ini tidak pernah berubah, jelas Buya. Saking kesalnya melihat kondisi itu, Buya sampai mengusulkan pergantian nama menjadi Republik Garong Indonesia. Apa kita ganti saja nama Republik Indonesia menjadi Republik Garong Indonesia, tegasnya.  Buya Syafii pun mengomentari desakan mundur terhadap Novanto. Dia menyebut, Jokowi dan Jusuf Kalla sudah marah sekali. Sebab itu, lebih baik yang bersangkutan mundur saja.
Apa yang disampaikan Buya Syafii Maarif  merupakan ungkapan kemarahan dan keputusasaan melihat kondisi negara saat ini. Dan kemarahan seperti itu wajar terjadi. Soalnya, bukan saja karena banyaknya kasus yang menerpa. Tetapi, tidak ada upaya menyelesaikan kasus-kasus itu. Sebagai contoh kasus pencatutan nama presiden dan wapres dari hari ke hari terlihat semakin kabur, melebar tak jelas. Tidak terlihat upaya penyelesaiannya. Terlihat, orang malah ramai-ramai membelokkan ini kepada Sudirman Said, sang pelapor. Padahal, masalah sangat terang benderang pencatutan nama itu dilakukan.
Korupsi menggurita
          Ungkapan Buya Syafii adalah puncak kekesalan, kekecewaan, kemarahan kita semua bangsa Indonesia. Saya yakin apa yang dirasakan oleh Buya, kita merasakannya. Kekecewaan pada kondisi bangsa dan negara. Kekecewaan pada prilaku penyelenggara negara, para pemimpin bangsa yang tidak berubah, membaik bahkan lebih gila lagi. Mereka lebih serakah, rakus, menghalalkan segala cara. Etika dan karakter mereka berada pada titik nadzir. Reformasi yang digulirkan tujuh belas tahun silam tak dapat merubah mental para petinggi negeri. Korupsi merajalela, dan telah menggurita.
          Menurut data yang ada, dari 175 negara di dunia pada 2014 oleh transparency.org. Indonesia menduduki peringkat 12 terkorup se-Asia dan peringkat 107 Negara bebas korupsi (dari 175 negara). Sangat disayangkan, dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 50 dunia negara bebas korupsi) atau Singapura (peringkat 7 dunia negara bebas korupsi), korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Peringkat Indonesia sebagai negara terkorup sendiri bisa dilihat dari presepsi masyarakat Internasional dan Nasional. Dalam sepuluh tahun terakhir, Transperancy Internasional (TI) menempatkan Indonesia dalam kelompok negara terkorup di dunia. (http://www.Republika.com)    
          Mengguritanya korupsi di Indonesia dapat terbaca dengan kasat mata dari hal-hal berikut, pertama, korupsi wakil rakyat.  DPR menjadi sarang korupsi. Terakhir, DPR diketahui sebagai tempatnya para makelar proyek-proyek negara. Berdasarkan survei lembaga kajian non profit Populi Center, DPR diyakini oleh rakyat sebagai lembaga negara terkorup (39,7%) disusul Polri (14,2%). Survei yang dilakukan awal tahun ini tersebut menunjukkan rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR, juga partai politik. (http://www.cnnindonesia.com/)
          Kedua, desentralisasi korupsi ke daerah. Otonomi daerah yang memiliki dasar hukum UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,  diperbaharui melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun otonomi daerah telah membuka peluang yang sangat lebar terjadinya desentralisasi korupsi. Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di UGM (2010) mengatakan bahwa sejumlah studi yang dilakukan terhadap negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan  ini sudah nyata, terbukti di Indonesia. Banyak kepala daerah menjadi pesakitan KPK lantaran korupsi.
          Ketiga, upaya pelemahan dan pembubabaran KPK. Terakhir Rancangan UU revisi KPK  disebut-sebut oleh berbagai kalangan sebagai pelemahan, pengerdilan kewenangan KPK. Bahkan khalayak ramai menyebutnya sebagai pencabutan nyawa KPK. RUU revisi KPK ibarat pisau yang memutus urat nadi KPK. Itu terlihat dari pencabutan hak penyadapan, penyelidik dan penyedik harus dari kepolisian atau kejaksaan, diberikanya kewewnangan SP3, usia KPK dibataasi 12 tahun dan lainnya. Untungnya, revisi ini ditunda. Tapi upaya-upaya ke arah itu masih terasa seperti mengulur-ulurnya test uji kelayakan pimpinan KPK oleh DPR hingga sekarang. Padahal Presiden sudah mengajukannya beberapa bulan yang lalu.
Revolusi sebagai solusi
          Menurut hemat saya, sulusinya tiada lain kecuali revolusi. Reformasi yang digagas dan disepakati oleh rakyat Indonesia tahun 1998 terbukti tak mampu memberangus dan memberantas korupsi. Kita perlu revolusi di berbagai bidang untuk memusnakan korupsi dari bumi pertiwi. Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan  yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. (https://id.wikipedia.org)
          Kalau Jokowi telah menggagas revolusi mental, sampai sekarang gagasan itu berjalan di tempat karena tidak ada kesadaran serta kemauan dari  kita semua. Kita sulit diajak berubah. Revolusi mental tak cukup. Banyak hal yang harus direvolusi. Diantaranya, Pertama, revolusi birokrasi. Kaitan dengan ini, Fathir Sidiq (2013) berokrasi memerlukan revolusi mind set dan revolusi culture. Revolusi mind set mengubah paradigma kerja birokrasi dari apa yang disebut ABS (Asal Bapak Senang) menjadi pelayanan prima yang menomersatukan publik. Revolusi culture terkait dengan disiplin dan etos kerja, disiplin waktu, serta profesionalitas. Di samping itu, kiranya perlu membongkar semua peraturan tata kerja organisasi dalam birokrasi yang berpotensi tindak korupsi.
          Kedua, revolusi sistem politik dan demokrasi. Pemikiran membubarkan partai politik dalam demokrasi Indonesia nampaknya bukan menjadi gagasan aneh lagi. Pasalnya, partai politik selama ini tak mampu mencetak politisi bersih berkarakter. Kita harus memformat ulang sistem demokrasi, tanpa partai politik. Ke depan bisa saja anggota dewan dipilih langsung perorangan, atau melalui test layaknya perekrutan PNS.
Ketiga, revolusi hukum. Kaitan dengan hukum, yang paling urgent adalah memberatkan hukuman. Bagi korupsi, hukuman mati layak diberlakukan. Selama ini hukuman terhadap koruptor sangat ringan. Selain itu, pengurangan masa tahanan atau yang semisalnya harus dihapus.
Walhasil, revolusi birokrasi, revolusi sistem politik dan revolusi hukum menjadi pilihan yang harus diambil dalam memberantas korupsi. Korupsi yang telah menggurita seperti sekarang tidak akan berkurang dengan reformasi. Hanya revolusi solusinya. Bila pilhan itu tidak diambil,  ke depan Indonesia akan betul-betul  menjadi Republik Garong. Semoga tidak. Wa Allahu Alam

         

                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar