Rabu, 04 November 2015

Pakai Masker, Apa Menyelesaikan?


Pimpinan DPR kembali berulah. Ulah mereka laksana dagelan, mengundang tawa setiap yang melihatnya. Dalam rapat paripurna, Jumat 30 Oktober 2015, sebelum dimulai pemimpin sidang mengajak peserta untuk menggunakan masker sebagai bentuk kepedulian pada bencana asap yang menimpa di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan. Seluruh pimpinan dewan mengenakan masker, bahkan saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagian anggota memprotes, meminta melepas masker mereka. Protes dari anggota tak dihiraukan oleh para pemimpin dewan yang terhormat itu.
Menanggapi protes anggota, Ketua DPR RI, Setya Novanto langsung berbicara. Ia menyatakan bahwa aksi mengenakan masker ini merupakan bentuk solidaritas dari DPR. Aksi ini sama halnya dengan menggalang sumbangan melalui kotak yang disediakan di depan ruang rapat paripurna atau melalui transfer ke bank BUMN. Setelah mendapat penjelasan, peserta rapat paripurna menghentikan interupsinya. Agenda rapat paripurna dilanjutkan dengan pergantian antarwaktu anggota DPR.
Sikap tak dewasa seperti ini bukan  pertama kali dilakukan oleh para wakil rakyat di gedung DPR. Karenanya, Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyebut anggota dewan sebagai anak TK yang manja, kekanak-kanakan. DPR nampaknya belum banyak mengalami perubahan. DPR sekarang hanya lincah bermain politik, bersandiwara, membohongi rakyat.  Kinerja mereka sangat rendah. Sedangkan tuntutan mereka banyak.
Bagi saya orang awam, ulah para anggota dewan di atas dapat dipahami sebagai hal-hal berikut:  pertama, menguatkan dugaan bahwa mereka telah mempolitisasi bencana. Apa yang diungkapkan oleh para pengamat, ada politisasi asap ternyata benar. Politik asap dijadikan alat untuk menekan, menjatuhkan kewibawaan pemerintahan Jokowi-JK. Presiden Jokowi sendiri, saat melakukan kunjungan ke Jambi beberapa waktu lalu,  mengatakan bahwa lahan gambut yang terbakar di beberapa daerah khususnya Jambi karena faktor kesengajaan. Kemudian pertanyaanya, siapa yang membakar? Beberapa kalangan sebenarnya telah mendesak pemerintah untuk membuka pelaku utama di balik pembakaran hutan yang sedang di proses oleh penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.
Kedua, DPR hanya pandai beretorika. Ini terlihat dari usulan mereka membuat pansus soal asap. Pansus, menurut hemat saya hanya akan banyak membuang waktu, plus anggaran. Daripada membentuk pansus lebih baik DPR mempelajari, mengkaji berbagai perundang-undangan yang memiliki kaitan  dengan pembakaran lahan yang dinilai menghambat pemadaman api, atau yang mendorong perluasan area. Kemudian DPR merubahnya  sehingga dapat membantu pemerintah menyelesaikan masalah. Pansus dikwatirkan  hanya akan mendatangkan kegaduhan politik.  Kaitan dengan hal ini , Wapres Yusuf Kalla menegaskan, pansus hanya akan menghabiskan waktu para menteri dengan memenuhi panggilan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, menurut Kalla, banyak pekerjaan yang harus dilakukan para menteri terkait penanganan bencana asap.
Ketiga, menunjukkan bahwa DPR gagal paham. Artinya DPR tak mampu bersikap dan bertindak secara benar terkait permasalahan asap. Apa yang dilakukan DPR seperti demo mahasiswa yang tak memiliki kewenangan apa-apa. DPR lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi, tugas, peran yang  strategis dalam pemerintahan bersama pemerintah. DPR harusnya dapat melakukan lebih dibanding sekadar memakai masker, sebagai ungkapan kepedulian. Ini persis seperti demo mahasiswa yang mengangkat kranda ketika menggugat matinya demokrasi misalnya.
Keempat, DPR hanya pandai mengkritik, tak mampu memberikan solusi. Kritik harusnya dibarengi dengan solusi. Berteriak-teriak mengkritik tak akan menghasilkan, merubah apa-apa jika tak dibarengi solusi yang jitu, yang diharapkan menjadi jalan keluar dalam menghadapi masalah.
Kelima, melihatnya sebagai dagelan. Dagelan politik yang tak membawa perubahan bagi rakyat. Paling, hanya bisa membuat mereka tertawa. Menertawakan wakilnya di gedung DPR. Dagelan seperti itu sering kita saksikan, yang hanya mendatangkan polemik. Dagelan yang mirip dengan sandiwara politik.
Keenam, politik pencitraan. Biasanya ini dituduhkan oleh mereka ke Pak Jokowi. Tapi kali ini, justru mereka yang sedang melakukan pencitraan. Seakan mereka merasakan apa yang dirasakan rakyat. Masyarakat Sumatra dan Kalimantan memakai masker, mereka juga pakai. Hanya bedanya, rakyat memakai di tengah hamparan asap yang menyesakkan napas, sementara anggota dewan memakainya di gedung ber-AC. Memang jauh berbeda, sejauh langit dan sumur. Bisa jadi ini sebenarnya sebuah pelecehan. Pelecehan wakil rakyat terhadap rakyat yang diwakili. Masyarakat Kalimantan dan Sumatera pasti geli melihat tindak-tanduk mereka.
Pakailah masker di lokasii bencana
Oleh karena itu, agar masker tidak mubadzir karena terlanjur dibeli, alangkah baiknya bila DPR memakainya di lokasi bencana. Kunjungi, pelajari permasalahannya kemudian kaji lebih dalam, serta mencarikannya solusi. Rumusan solusi segera disampaikan ke pemerintah. Dan pemerintah mustinya tidak mengabaikan, melainkan menjalankannya.
Saya tertarik dengan seruan, Ruhut Sitompul, politisi partai Demokrat yang mengajak anggota dewan lain untuk terjun ke lapangan agar mereka memahami permasalahan. Saya melihat sangat terpuji, jika sekali-kali para anggota dewan terhormat berpanas-panasan, merasakan sesak napas karena asap untuk mendapatkan pemahaman yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Toh, mereka wakil rakyat.
Ruhut yang mengaku sudah bolak-balik ke Kalimantan dan lokasi bencana lainnya menilai, turun ke lokasi bencana jauh lebih efektif untuk membantu masyarakat dan pemerintah, dibanding pembentukan pansus atau sekadar memakai masker di dalam gedung DPR.(http://nasional.kompas.com/)
Akhir kata, memakai masker dalam rapat paripurna bukanlah solusi masalah. Hal itu tidak akan merubah kedaan. DPR harus membuktikan lebih jauh, bahwa mereka serius ingin membantu pemerintah dan rakyat menyelesaikan permasalahan asap. Keseriusan mereka akan ditunggu oleh rakyat. Apa aksi konkrit mereka setelah memakai masker dalam rapat paripurnah tersebut. Aksi tersebut akan menentukan apakah kepedulian mereka serius atau sekadar dagelan, sandiwara politik belaka. Rakyat sekarang hanya bisa menonton. Tapi Rakyat pasti akan menghukum mereka lima  tahun mendatang dalam pemilu jika amanat yang diberikan tak mampu diemban.Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar