Rabu, 04 November 2015

Bacakan Fatiha Pak!

Cerpen

          Bel masuk berdering nyaring. Siswa-siswi berlarian menuju halaman sekolah. Sebagian siswa yang berada di belakang sekolah pun mempercepat belanja mereka di kantin. Kantin yang posisinya berada di belakang kelas 3 itu seketika sepi ditinggal mereka yang sebelumnya berbelanja makanan ringan, juga minuman. Pagi itu seperti biasanya, para siswa segera mengikuti kegiatan apel Jumat pagi. Apel Jumat pagi adalah kegiatan mingguan yang bertujuan melatih kedisiplinan, pembinaan, juga bimbingan terhadap siswa. Dalam kegiatan itu juga biasa disampaikan informasi, hal-hal penting yang terkait dengan proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah selam satu minggu. Kegiatan yang berdurasi antara 10-15 menit itu diikuti oleh seluruh siswa di sekolah tersebut.
          “Assalamua’alaikum warahmatullahi wa barakatuh”.
          “Waalaikum salam”, jawab siswa serentak.
          “Siapa yang mengetahui, kemaren 22 Oktober itu di peringati sebagai hari apa?”, tanya Pak Hikmah seraya membuka ceramah di pagi cerah itu. Guru yang nama lengkapnya Ahmad Hikmah itu adalah salah satu pengisi kegiatan apel Jumat yang sering membawakan tema keagamaan. Maklum, dia guru agama di sekolah.
          “Ada yang bisa jawab?” Pak Hikmah mengulangi sambil menengok ke kanan dan kiri. Diperhatikannya seluruh peserta. Tak ada satu siswa pun yang menjawab. Tak seperti biasanya. Setiap ada guru yang bertanya, siswa yang bisa langsung menjawab lantang. Bila jawaban salah, yang lain menertawakan. Pak Hikmah berpikir, pantas mereka tak mengetahuinya. Bukankah kemaren adalah kali pertama diperingati sebagai hari  nasional?
          “22 Oktober adalah hari santri nasional. Bapak Presiden telah menerbitkan surat nomor 22 tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai hari santri nasional. Dan kemaren di berbagai daerah umat Islam memperingatinya dengan berbagai hal. Ada yang pawai, menyelenggarakan seminar, kirab santri dan lainnya. Di jalan-jalan pun, banyak dipasang ucapan selamat dalam bentuk spanduk atau pamlet” Pak hikmah menjelaskan.
          “Dipilihnya 22 oktober diambil dari sejarah lahirnya resolusi jihad yang digagas oleh para ulama di Jawa Timur”, lanjut Pak Hikmah.
          “Apa resolusi jihad itu? Tanya Pak Hikma berikutnya.
          “Ada yang tahu?”
          “Perintah berperang Pak!”, jawab salah satu peserta apel. Spontan, yang lainnya tertawa. Pak Hikmah mengamati dari kejauhan, siswa itu bernama Santosa. Santosa adalah siswa kelas 4 yang sering menjadi bahan tertawaan teman-temanya. Pasalnya, siswa tersebut kalau bicara asal. Anaknya sih baik dan rajin. Teman-teman sekelasnya sangat menyukai.
“Jawabanya bagus, tapi kurang tepat”, Pak Hikmah mengawali jawaban.
 “Resolusi jihad itu perintah atau seruan berjihad melawan penjajah. Saat itu Belanda kembali ke Indonesia tepatnya di Surabaya, mendompleng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris. Para ulama Surabaya dan sekitarnya merasa terpanggil membela tanah air, memerangi penjajah. Mereka akhirnya sepakat mengeluarkan resolusi jihad. Mengajak seluruh rakyat Indonesia terutama yang beragama Islam untuk mengusir Belanda dan tentara sekutu. Mereka pun memfatwakan bahwa bila mati dalam melawan penjajah maka matinya dianggap mati syahid”  Pak Hikmah menerangkan cukup panjang.
“Hari santri merupakan penghargaan negara terhadap perjuangan umat Islam dalam mengusir penjajah. Umat Islam sebagai bagian dari bangsa ini selalu mengambil peran penting baik dalam merebut kemerdekaan maupun mengisinya dengan membangun. Oleh karena itu, kalian sebagai kader bangsa, kader umat harus terus semangat belajar, dan belajar. Perjuangan kalian saat ini hanya belajar, menuntut ilmu membekali diri dengan berbagai ketrampilan dan keahlian.” Pak Hikmah kembali menerangkan. Siswa-siswi dengan seksama memperhatikan dan mendengarkan.
“Akhir kata semoga kita bisa memberikan yang terbaik buat bangsa dan negara. Akhirnya, wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”, Pak Hikmah mengakhiri kegiatan apel Jumat pagi.
“Setelah apel Jumat,  para siswa diminta langsung masuk ke kelas masing-masing dan berdoa, kemudian membaca Al Quran”, suara itu terdengar sangat jelas dari pengeras suara yang ada di sekolah. Suara itu datang dari operator sekolah yang biasa menyampaikan informasi, ajakan, atau perintah kepada semua siswa. Operator sekolah dikelola oleh sebagian guru.
Pak Hikmah berjalan santai menuju ke kantor. Ia melewati beberapa kelas. Sementara anak-anak berebutan masuk ke kelas. Sebagian ada yang berlarian. Kondisi seperti itu dapat dilihat setiap bubar upacara, apel, jam istirahat, atau saat pulang sekolah.
“Pak,  kenapa tidak membacakan Fatiha? tanya Elisa. Pak Hikmah terkejut. Dia menengok ke belakang, melihat Elisa tergopo-gopo menghampiri. Elisa adalah salah satu siswa yang beragama Kristen. Di sekolah tersebut, ada tiga lagi yang berbeda agama dengan siswa kebanyakan. Mereka adalah Elisabet, Santika, Ferdi. Mereka bercampur dengan yang lain. Kecuali bila pelajaran Agama, mereka diminta ke perpustakaan oleh Pak Hikmah.
“Memang kenapa? Ada yang sakit? Atau meninggal?” tanya Pak Hikmah. Memang, dalam apel pagi Jumat Pak Hikmah terkadang meminta anak-anak membaca Al Fatiha bila ada siswa yang sakit, atau ada wali siswa yang meninggal.
“Iya, Pak”, jawab Elisa
“Siapa?“
“Pak Hermanto, orang tuanya Budiarto”
“Ya, baiklah. Nanti lain kesempatan kita membacakanya. Terimakasih, Elisa”, Pak Hikmah menutup pembicaraan, seraya melangkah ke depan.
“Subhanallah itu anak baik sekali, sangat toleran”, Pak Hikmah membuka perbincangan ketika sampai di ruang guru. Par sedang guru  bersiap-siap di meja kerjanya masing-masing. Seperti biasa setiap selesai apel atau upacara siswa langsung belajar.
“Siapa pak?” tanya Bu Nora penasaran.
“Elisa”, jawab Pak Hikmah singkat.
“Memang kenapa?”, Pak Salim menimpali. Pak Salim meyakini pasti ada sesuatu. Karena Pak Hikmah dikenal oleh teman-temanya irit bicara. Tak berbicar kecuali ada yang penting.
“Dia menegur saya, kenapa tidak membacakan surat Al Fatiha untuk wali siswa yang kemaren meninggal, pak Hermanto ayahnya Budiarto”, Pak Hikmah menjawab sedikit panjang.
“Berarti kita berhasil pak, menanamkan sikap toleransi di anatara perbedaan- perbedaan yang ada”, Bu Siska menyela pembicaraan sambil berdiri, merapikan mejanya. Rupanya dia sudah siap masuk kelas.
“Ya, betul bu. Kita bersyukur, apalagi sekarang masyarakat kita mudah terprovokasi berbuat intoleran dengan yang berbeda agama. Bahkan, belum lama, ada kepala daerah yang menerbitkan surat edaran, melarang kegiatan keagamaan komonitas minoritas sebuah agama. Ini menyedihkan sekaligus memalukan”, Pak Hikmah melanjutkan diskusi ringan di pagi itu.
“Ya, saya sudah membaca pak, di internet. Walikota mana? Saya lupa”, ujar Pak Salim.
“Bogor”, Pak Hikmah mengakhiri. Para guru pun beranjak dari tempat duduk menuju kelas mereka masing-masing. Ruang guru seketika hening. Tersisa, Pak Karim, guru piket sedang duduk, mengerjakan sesuatu di depan komputer. Dari awal ia hanya menyimak pembicaraan teman-temanya.



         
         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar