Rabu, 11 November 2015

Resufhle Kabinet, Untuk apa?


          Isu resufle kabinet kembali mengemuka ke permukaan. Isu yang selalu digosok oleh para politisi itu nampaknya semakin dekat menjadi kenyataan. Itu dapat dibaca dari statemen wakil presiden beberapa waktu lalu yang mengisyaratkan rencana pembahasan menegenainya dengan Presiden Jokowi. Pertemuan pimpinan partai pengusung pemerintah di kediaman Megawati Soekarno Putri   sebelumnya ditafsirkan sebagai desakan, perumusan, dan usulan terhadap resufle kabinet pada Jokowi. Jauh hari, PAN  telah menimbang-nimbang kadernya untuk masuk ke dalam kabinet sebagai wujud membantu Presiden setelah secara resmi menyatakan bergabung dengan koalisi Indonesia Hebat dalam pemerintah.
          Melakukan reshufle kabinet merupakan hak perogatif presiden. Dan rushufle dipandang sebagai keharusan atau tidak bergantung bagaimana kepuasan presiden melihat kinerja para menteri yang diangkatnya. Idealnya, penilaian presiden terhadap kinerja itulah yang menjadi alasan utama perlu tidaknya rushufle.
          Masih terngiang dalam ingatan, saat masa pencalonan, kampanye Pilpres setahun yang lalu, Jokowi kerap kali menegaskan bahwa koalisi yang akan dibangun untuk mengusung dirinya adalah koalisi tanpa syarat. Artinya sebuah koalisi yang tidak menysaratkan apa pun antara partai pengusung dengan calon presiden.  Koalisi yang tidak mengenal transaksi politik. Koalisi yang tidak berdasarkan pada kepentingan pragmatis seperti bagi-bagi kursi atau jabatan. Istilah koalisi tanpa syarat memang sesuatu yang baru, tak dikenal sebelumnya. Koalisi model ini merupakan  manifestasi revolusi mental yang digagas oleh Jokowi.
          Banyak pihak, sejak awal  meragukan dan menyangsikan komitmen Jokowi di atas. Misalnya, ketika pembentukan kabinet kerja setahun yang lalu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro meminta kepada presiden terpilih, Joko Widodo untuk membuktikan janjinya saat kampanye dengan menyatakan akan memberlakukan koalisi tanpa syarat dan tak melakukan praktik transaksional politik. Menurut Siti, dengan komposisi kabinet yang disebutkan Jokowi, 16 kursi menteri untuk partai politik, itu jelas-jelas tidak menggambarkan seperti yang ia janjikan.  http://nasional.kompas.com/

          Sekarang, isu resuhfle jilid II telah bergurlir, kita layak mempertanyakan kembali komitmen Jokowi tersebut. Saya melihat, koalisi tanpa syarat yang diinginkan Jokowi seperti api jauh dari panggang. Hal itu bisa dicermati dari hal-hal berikut:pertama, usaha campur tangan dari luar istana, biasanya datang dari partai pengusung. Mereka mendesak, mendorong rushufle. Alasan yang sering digunakan adalah tingkat kepuasan pubilik terhadap kinerja kabinet yang diangggap rendah. Yang paling mencolok untuk rushufle kabinet kali ini adalah PAN. PAN sangat progresif, mendesak Presiden. Secara terbuka, pemimpin, politisi PAN mengumbar pernyataan terkait reshufle. Bahkan mereka memberi batas waktu sebelum kunjungan Presiden ke Amerika Serikat.
          Apa yang dilakukan oleh PAN tidak mungkin tanpa alasan. Bisa jadi PAN hanya menagih sesuatu yang telah dijanjikan. Dengan demikian, bergabungnya PAN ke Pemerintah dapat disimpulkan jauh dari koalisi tanpa syarat. Karena itu, tak heran bila partai pengusung lain seperti PKB mempertanyakannya lebih jauh tentang komitmen koalisi tanpa syarat tersebut. Dalam sebuah diskusi politik, beberapa waktu lalu, Maman Imanulhaq, politis PKB menegaskan, bahwa PKB tak pernah merasa takut terhadap kemungkinan rushufle selagi kita semua masih komit terhadap koalisi tanpa syarat. Yang menjadi persoalan adalah gelagat transaksional beberapa partai akhir-akhir ini. (http://m.suara.com/news)
          Kedua, usulan secara terbuka mengganti menteri Rini Soemarno. Kementerian BUMN seperti kue  ulang tahun yang diperebutkan. Sejak reshufle pertama, serangan bertubi-tubi terarah pada Rini Soemarno, bahkan serangan itu cenderung sebagai ftnah seperti tuduhan penghinaan terhadap Presiden. Usulan menggant Menterei BUMN datang dari berbagai partai, berbagai kepentingan, bahkan dari PDIP sendiri. Rini Soemarno yang awalnya ditanam oleh PDIP dalam kabinet terbukti dianggap sudah tidak loyal lagi pada partai pimpinan Megawati tersebut. Rini Soemarno  kini lebih loyal pada Jokowi. Sehingga kementerian BUMN di tangan Rini Sormarno tidak bisa lagi dijadikan sumber pendanaan bagi partai manapun, juga kepentingan siapa pun.
          Lebih jauh, tuntutan mencopot Rini Soemarno tidak hanya datang dari partai pengusung, bahkan dari barisan Koalisi Merah Putih. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, 10 fraksi di DPR tak puas dengan kinerja Rini Soemarno. Dari penolakan fraksi-fraksi terkait penyertaan modal negara untuk BUMN merupakan  sinyal yang jelas dan kuat bahwa kementerian negara BUMN dipandang tidak kredibel. Karenanya, menurut  Hendrawan tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi mempertahankan seorang Rini Soemarno. Tuntutan yang sama juga disampaikan Fazli Zon, politisi Partai Gerindra. Nampaknya, reshufle kabinet tidak sebatas tuntutan publik, melainkan tuntutan politik transaksional di antara partai-partai yang ada. (http://www.republika.co.id/)
          Ketiga, konflik berkepanjangan Partai Golkar dan PPP ditengarai sebagai terbelahnya kepentingan dalam kedua partai. Satu kelompok masih komitmen dengan KMP, kelompok lain menginginkan bergabung dengan pemerintah. Keinginan bergabung tentu tidak gratis. Ada transaksi yang dijanjikan kepada mereka. Andai suara di kedua partai bulat untuk bergabung ke pemerintah, maka dipastikan mereka seperti PAN sekarang, menagih apa yang dijanjikan.
          Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa reshufle kabinet tidak semata-mata karena memperbaiki kinerja kabinet dengan mengganti mereka yang dianggap lamban, atau menghambat laju kerja. Di balik reshufle kabinet terselubung kepentingan politik transaksional.
          Kemudian reshufle kabinet lebih merefleksikan kepentingan elit politik atau partai dibanding kepentingan rakyat. Rakyat hanya dijadikan tumbal. Rakyat hanya dijadikan alasan.
          Bila demikian, sekarang kembali ke Jokowi sebagai presiden. Ingatkah dengan janji yang diucapkan saat kampanye prihal koalisi tanpa syarat dalam memimpin pemerintahan? Jokowi harus menggunakan hak perogatifnya dengan menilai menteri secara adil. Menilai bukan karena kepentingan apa pun selain kepentingan bangsa dan negara. Jokowi tak perlu takut untuk mengabaikan tuntutan, desakan dari siapa pun bila hal itu diyakininya menyakiti rakyat yang telah memilihnya. Keputusan Jokowi akan disimpulkan oleh khalayak ramai apakah reshufle itu kebutuhan atau kepentingan? Rakyat menanti jawaban tegas tentang ini.
          Akhir kata, desakan reshufle harus dikaji sebagai kebutuhan atau kepentingan. Reshufle sebagai upaya memperbaiki kinerja atau merealisasikan transaksi politik. Kemudian reshufle untuk kepentingan siapa? Bila rushufle hanya untuk kepentingan kelompok tertentu, merealisasikan transaksi politik, untuk apa reshufle? Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar