Sabtu, 13 Juni 2015

MANENGOK TUNJANGAN PROFESI BAGI GURU HONORER



          Tunjangan sertifikasi guru menjadi sesuatu yang menyamakan guru dengan kaum profesional lainnya seperti dokter, pengacara. Karenanya keberadaan dan eksistensi guru semakin menguat di tengah masyarakat. Profesi guru semakin diburu. Namun demikian, dalam keyataan di lapangan tunjangan profesi tidak sepenuhnya menggambarkan kesejahteraan ekonomi guru, terutama bagi guru honorer. Tunjangan guru justru menjadi problematika tersendiri bagi mereka. Ada apa dengan mereka?
          Menurut peraturan pemerintah No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor Pasal 1 disebutkan bahwa profesi guru adalah tunjangan yang diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Tunjangan profesi tidak hanya diberikan kepada guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru honorer pun berhak memperolehnya. Tentu bagi mereka yang memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Dalam PP No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor Pasal 5, Tunjangan profesi bagi guru dan dosen bukan pegawai negeri diberikan sesuai kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil. Lebih lanjut tentang kesetaraan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri sesuai kewenangannya.
          Membaca peraturan atau perundang-undangan di atas seharusnya keadaan ekonomi guru honorer relatif membaik, tentu masih di bawah guru negeri. Namun kenyataanya ada beberapa problematika yang justru berlawanan dengan semangat dan ruh PP No. 41 Tahun 2009. Problematika tersebut antara lain adalah  bahwa sebagian besar sekolah (baik yang dikelolah pemerintah maupun yayasan atau swasta) tidak lagi memberikan honor setelah mereka mendapat tunjangan profesi  atau sertifikasi. Tunjangan dari pemerintah yang tujuannya menambah penghasilan  dijadikan pengganti honor yang sebelumnya mereka terima dari sekolah, berbeda dengan guru berstatus PNS. Ditambah lagi pembayaran dilakukan tiga bulan sekali (triwulan). Tiga bulan bukan waktu yang pendek bila dihadapkan dengan kebutuhan hidup yang selalu merangkak naik.Tidak cukup sampai di situ, pembayaran yang dijadwalkan tiga bulan sekali kerapkali terlambat, bisa menjadi empat, lima sampai enam bulan.Tentu sangat memprihatinkan. Mengenai keterlambatan sebenarnya guru yang berstatus PNS juga ikut merasakan. Tapi bedanya mereka masih mendapat gaji perbulannya.
          Kemudian panjangnya birokrasi sebagai prosedur yang harus ditempuh seorang guru untuk memperoleh tunjangan sertifikasi menjadi perjuangan melelahkan. Pemberkasan, pengumpulan data, ujian kompetensi, PLPG sebelumnya portofolio dan masih banyak lagi proses yang harus dilalui telah memecah konsentrasi mengajar guru. Guru sebagian banyak pikiran dan waktunya dihabiskan untuk mengejar sertifikasi. Ada sebagian guru mengumpamakanya seperti mengejar dan mencari harta karun di hutan belantara. Akhirnya mengajar yang merupakan tugas pokoknya terabaikan. Kondisi seperti ini yang barangkali menyebabkan kualitas pengajaran guru tidak meningkat setelah digulirkannya kebijakan sertifikasi. Guru profesional yang diharapkan pemerintah justru menjadi tak profesional lagi.
          Lebih sedih lagi, ada  guru honorer  yang telah bersertifikat sebagai pendidik profesional (sudah lulus PLPG) tapi terganjal oleh aturan, tunjangan tak bisa dicairkan. Aturan bahwa SK honor harus ditandatangani oleh Bupati/Walikota sebagai salah satu syarat dalam pemberkasan usulan pencairan. Mereka adalah guru yang honor di sekolah-sekolah  negeri. Sedang Bupati/Walikota tak bersedia menandatangani karena terhitung 2005 tidak dipebolekan mengangkat tenaga honorer sesuai PP No. 5 Tahun 2005 tentang Pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil pasal 8 yang menyebutkan, sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Usulan untuk pengambil kebijakan
          Untuk mengembalikan semangat  merubah keadaan dan memperbaiki  kesejahteraan guru dengan meningkatkan kualiatas mereka, saya mengusulkan beberapa point kepada para pengambil kebijakan terkait regulasi tunjangan profesi guru baik di pusat maupun di daerah. Pertama, memasukan tunjangan profesi ke daftar gaji. Artinya tunjangan profesi dicairkan setiap bulan bersama gaji.  Karenanya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 41/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer Ke Daerah dan Dana Desa terutama pasal 21, 22 yang menyangkut mekanisme pencairan tunjangan profesi guru harus dicabut atau direvisi.  Dalam pasal 21, 22 tersebut dikatakan bahwa pencairan tunjangan profesi guru disalurkan secara triwulam yaiitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Dengan demikian guru honorer tidak harus menunggu tiga bulan sekali.
          Kedua, memprioritaskan guru honorer. Praktek di lapangan, pembayaran dilaksanakan secara bertahap dan  guru honorer selalu diakhirkan dalam pencairan setelah guru berstatus PNS.  Kenapa demikian? Karena mereka yang PNS-pun seringkali menuntut pencairan, sedang posisi mereka lebih kuat.
          Ketiga, mempersingkat proses dan birokrasi. Pencairan tunjangan harus melewati proses yang lumayan panjang, berupa pengumpulan atau pengisian data atau biasa yang dikenal dengan pemberkasan baik saat awal pencairan atau setelahnya. Pemberkasan dalam setahun dilakukan sampai empat kali. Pemberkasan ini bertujuan disamping memantau jam mengajar guru, juga perubahan gaji pokok baik karena berkala maupun karena naik pangkat bagi guru berstatus PNS. Kalau sekadar memantau jam mengajar bagi guru honor, saya kira satu tahun sekali juga bisa. Bukankah pembagian tugas mengajar dilakukan satu tahun sekali yaitu di awal tahun pelajaran? Dengan demikian pemberkasan tidak lagi dimaknai sebagai rintangan, mempersulit guru, atau sekadar mencari-cari alasan penundaan pencairan.
          Keempat, berilah honor mereka walau ada tunjangan profesi. Bagi sekolah lebih arif dan bijak bila tetap membayar honor mereka walau ada tunjangan profesi. Karena tunjangan profesi pada dasarnya adalah penghaslan tambahan bagi guru dari pemerintah. Memang jumlahnya lebih besar bila dibanding dengan honor mereka sehingga tunjangan profesi tidak beralih fungsi menjadi pengganti honor atau gaji.
          Kelima, menjalankan proses kebijakan secara manusiawi. Yaitu melakukan pelayanan kepada guru honor sebagai obyek kebijakan secara manusiawi dengan mengedepankan pendekatan hati nurani, akal sehat, dan kasih sayang. Jangan memperlakukan mereka seperti robot dan mesin.
          Ke depan harusnya tunjangan profesi guru bisa merubah kesejahteraan guru honorer, paling tidak mereka memperoleh penghasilan sesuai upah minimum regional (UMR). Dan pastinya, mereka lebih fokus melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik profesional, tidak sebaliknya.
(Tulisan ini dimuat di Harian Radar  Cirebon, Senin, 15 Juni 2015)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar