Selasa, 09 Juni 2015

JOKOWI KEMBALI SALAH



Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran proklamator kita, bapak bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar. Kalimat ini memposisikan presiden Jokowi menjadi bahan cibiran publik dan khalayak umum. Presiden salah menyebut tempat lahir Bung Karno dalam pidato kenegaraan memperingati hari kesaktian Pancasila 1 Juni 2015 lalu di Blitar. Seharusnya Surabaya, beliau menyebutnya Blitar. Reaksi beragam bermunculan. Sebagian menanggapi dengan sinis, sementara lainnya memaklumi. Tulisan ini tidak ingin memperpanjang pro-kontra  tapi lebih pada mengambil hikmah dan pembelajaran untuk semua elemen bangsa di masa yang akan datang.
          Sebenarnya pihak istana sudah memberikan klarifikasi. Adalah Sukardi Rinakit yang menyatakan bertanggung jawab sebagai pembuat naskah pidato. Menurut Sukardi saat naskah itu disusun, Presiden sempat memastikan lokasi kelahiran Bung Karno. Ketika itu, Jokowi menyebut bahwa lokasi kelahiran Bung Karno yang diketahuinya adalah Surabaya. Presiden waktu itu meminta saya untuk memeriksa karena seingat beliau, Bung Karno lahir di Surabaya. Tanpa memeriksa lebih mendalam dan saksama, saya menginformasikan kepada Presiden bahwa Bung Karno lahir di Blitar. Sukardi mengaku menggunakan situs Tropenmuseum.nl, yang menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Blitar.
          Membicarakan permasalahan di atas saya teringat pepatah Arab, summiyal insanu insanan linisyanihi. Artinya, manusia disebut manusia karena mudah dan cepat lupa. Sehebat apapun yang namanya manusia pasti pernah lupa, juga salah. Tapi tentu bukan kesalahan yang disengaja atau yang dibuat-buat. Demikian Juga presiden Jokowi sebagai manusia tentu tak luput alpa, lupa, juga salah. Kalau menurut agama yang penting bagi orang yang bersalah adalah mempertanggung jawabkan dan meminta maaf. Rasulullah SAW bersabda, Setiap bani Adam pernah bersalah dan sebaik-baik orang bersalah adalah meminta maaf (bertaubat). Sampai di sini saya kira selesai persoalaanya. Tapi tidak bijak bila kita tak mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa itu.
Catatan ke depan        
Untuk mengambil hikmah dan pelajaran, ada beberapa catatan sebagai bahan kajian agar kejadian serupa tak menimpa presiden di masa mendatang. Pertama, sebagai orang nomor satu di republik ini idealnya presiden tanpa cacat dan cela dalam setiap ucapan, tindakan, dan perbuatan. Presiden harus menjadi teladan bagi rakyatnya. Untuk itu segala hal yang berkaitan dengan presiden harus disiapkan, direncanakan secara matang dan teliti. Pihak-pihak yang berada di sekeliling presiden  seperti pengelola istana, para menteri sebagai pembantu presiden, para staf, team ahli, pegawai keprisidenan, protokoler, semuanya memiliki tanggung jawab moral agar presiden terjaga dari salah, lupa sekecil apa pun. Sebagai kepala negara dan pemerintahan presiden disiapkan team berlapis menurut bidang dan sektor masing-masing. Ke depan harusnya kesalahan tidak boleh terjadi lagi. Kejadian ini harus dijadikan bahan evaluasi dan intropeksi bagi semua orang yang memiliki peran dan tanggung jawab terkait dengan presiden.
Kedua, sanksi tegas. Pak Jokowi sebagai presiden harus tegas dan memberi sanksi kepada mereka yang melakukan kesalahan. Ketegasan diharapkan menjadi warning atau peringatan agar mereka bekerja hati-hati, teliti, tentu profesional. Sanksi dapat berupa teguran keras, bila dianggap perlu pemecatan. Kenapa? Karena presiden bukan seperti pak RT, pak RW, pak Lurah yang bila terjadi kesalahan baik teknis, ucapan, protokoler masih dapat ditolerir oleh publik.
Ketiga, membangun budaya mundur dari jabatan sebagai bentuk tanggung jawab. Mengakui kesalahan sebenarnya sudah langkah maju di tengah budaya masyarakat yang hanya berebut muka saat ada prestasi, saling melempar kesalahan saat ada sorotan. Tapi lebih jauh dari itu, mundur dari jabatan saat melakukan kesalahan itu pasti sangat terpuji. Pastinya tidak semua kesalahan. Kesalahan yang menurut ukuran standar memiliki bobot berat baik secara moral apalagi di hadapan hukum. Untuk kasus Sukardi Rinakit, sebaiknya yang bersangkutan mengukur diri. Apa harus mundur atau tidak? Di sini sensitifitas moral mengambil peran, apalagi desakan publik juga cukup kuat.
Keempat, gaya kepemimpinan dan komunikasi Jokowi yang low profil, sederhana, yang menurut Nurul Ibad Ms (2015) dalam bukunya, Jokowi dalam Cermin Dunia berbeda dengan gaya kepemimpinan para pemimpin di Indoenesia sebelumnya jangan menjebak protokoler presiden menjadi kendor, tidak teliti, apalagi cenderung asal-asalan. Gaya kepemimpinan, komunikasi setiap presiden memang berbeda, tapi standar baku protokoler harus sama. Bisa jadi kesalahan berikutnya berada di wilayah protokoler istana. Kesalahan pada penulisan naskah pidato presiden seperti sekarang harus menjadi peringatan untuk semua, termasuk protokoler keprisidenan.
Catatan dia atas harus menjadi pembelajaran buat kita semua, elemen bangsa. Pengalaman ibarat guru terbaik, semestinya banyak menuntun agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Dan orang bijak pasti tak akan masuk dalam lubang yang sama. SEMOGA.
(Tulisan dimuat di Radar Cirebon, Senin 10 Juni 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar