Kamis, 18 Juni 2015

MERAGUKAN DANA ASPIRASI



          Ribut-ribut tentang dana aspirasi, apa dana aspirasi itu? Dana aspirasi adalah  dana pembangunan yang dianggarkan oleh pemerintah pusat untuk daerah mengacuh pada aspirasi setiap anggota DPR. Setiap anggota DPR akan mengusulkan aspirasi pembangunan di dapilnya, dianggarkan setiap anggota sebesar 20 milyar.  Dana aspirasi diusulkan oleh fraksi Partai Golkar. Awalnya sejumlah fraksi seperti Demokrat, PPP, PAN, PDIP, Gerindra, PKS, Hanura menolak, tapi dalam rapat Badan Anggaran pada tanggal 15 Juni 2015, tak satu fraksi pun yang menolak, dana aspirasi akhirnya menjadi usulan resmi.
          Menurut kalangan DPR dana aspirasi diusulkan bertujuan untuk pemerataan pembangunan. Selain itu dana tersebut disebut sebagai realisasi dari janji para anggota dewan kepada konstuennya seperti yang dinyatakan ketua DPR RI Setya Novanto (http://nasional.harianterbit.com/) Coba kita kritisi bersama, apakah tujuan itu logis? Dan apakah akan tepat sasaran?
          Bagi saya orang awan ada beberapa keraguan, hal di atas akan dapat terwujud.Pertama, mengenai pemerataan justru sebaliknya yang akan terjadi. Karena daerah-daerah yang tertinggal dalam segala aspek pembangunan justru lebih sedikit jumlah penduduknya, dan otomatis jumlah anggota dewan (perwakilan mereka) juga sedikit. Sementara daerah semisal Jakarta yang dalam segala maju memiliki jumlah penduduk banyak, dan tentu perwakilannya juga banyak. Dengan demikian pastilah perolehan dana aspirasi daerah berpenduduk besar seperti Jakarta akan lebih besar dibandingkan dengan Papua misalnya yang berpenduduk sedikit. Logika pemerataan pembangunan menjadi tidaki logis. Bagaimana tidak?  Daerah seperti Jakarta akan lebih besar mendapat dana aspirasi dibanding Papua yang tertinggal.
          Kedua, aspirasi masyarakat juga tak melulu harus dijawab dengan uang. Sebab aspirasi bisa berbentuk ideologi, politik, atau lainnya. Anggota DPR menampung aspirasi tersebut, kemudian menyampaikannya sesuai saluran, tak terbatas pada jumlah uang. Jadi mungkin saja ada aspirasi dan keluhan masyarakat, tapi tak mengharuskan menjawabnya dengan uang.
          Ketiga, menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 12 disebutkan (1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. (2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. (3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untukmenutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Mengacuh UU Nomor 17 Tahun 2003 ini,  jelas bisa dipahami bahwa  RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, bukan  berdasarkan daerah pemilihan, oleh karena DPR tidak memiliki instrumen perencanaan yang merupakan domain pemerintah.
          Keempat, DPR hanya memiliki peran pembahasan RAPBN untuk setuju atau tidak menyetujui. DPR tidak dalam kapasitas sebagai ekskutor (baca:pelaksana) anggaran seperti ditegaskan Undanng-undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2 yang menyatakan bahwa  rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Kemudian apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
          Kelima, dana aspirasi membuka peluang percaloan anggaran. Akan menjadi lahan potensial penyalagunaan anggaran, membuka kesempatan untuk melakukan tindak korupsi. Apalagi dana yang akan dianggarkan sangat fantastis. Dua puluh milyar setiap anggota bukan dana kecil, bila dikalikan dengan jumlah anggota dewan bisa mencapai kurang lebih 11 milyaran. Luar biasa, ditengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat.
          Keenam, Dana Aspirasi akan melanggengkan Status Quo. Menjelang Pemilu dana aspirasi akan menjadi efektif sebagai  guna menarik simpati Pemilih. Hal ini akan menghasilkan kontestasi politik yang tidak sehat antara peserta Pemilu dan hanya memberikan peluang akan berkuasanya kembali DPR yang status quo. Dalam konteks ini kepentingan pribadi (baca:anggota dewan) terlihat menonjol dan jelas dapat dipahami setiap orang dibanding kepentingan rakyat yang memilihnya.
Anggota Dewan Intropeksi dirilah
          Ungkapan di atas tidak berlebihan. Sekarang saatnya bapak/ibu anggota Dewan yang terhormat untuk berintropeksi diri. Lebih baik memfokuskan diri pada kewenangan yang ada di tangan seperti tercantum dalam UUD 1954 Pasal 20 A yang menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Di depan mata antrian panjang RUU yang menanti sentuhan pemikiran anggota dewan melalui pembahasan bersama pemerintah. Bukankah setiap tahun DPR tak dapat menuntaskan target legislasi bersama pemerintah?
          Kaitan dengan hal di atas Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, TB Soemandjaja  (2015) mengakui sulit sekali mencapai target program legeislasi nasional (prolegnas). Menurutnya, hal itu disebabkan Pertama,  pentingnya konsolidasi internal di DPR sendiri. Kedua, DPR perlu mempertimbangkan status baleg agar tidak lagi bekerja di komisi lain.Ketiga, DPR harus mengukur target pencapaian Prolegnas sesuai waktu dan kemampuan secara rasional. Ia berharap DPR dan Presiden perlu meninjau kembali jumlah RUU yang akan dibahas karena target pembahasan RUU terlalu tinggi.
          Nah, saya kira lebih arif dan logis kalau DPR memfokuskan diri pada pekerjaan yang memang menjadi kewenangan, fungsi, dan perannya. Kecuali kalau mereka ingin ditinggalkan pemilihnya karena dianggap gagal menjadi wakil mereka.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar