Rabu, 24 Juni 2015

CERAI GUGAT MENINGKAT, APA SOLUSINYA?



          Cerai gugat dalam terminologi Islam disebut Khulu’. Secara etimologi khulu’ berarti “melepaskan”. Sedangkan menurut istilah di dalam ilmu fiqih, khulu adalah permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya. Dan, dengan kata lain, Khulu adalah perceraian yang dibeli oleh si istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istrinya. (ttps://id.wikipedia.org/wiki/Khulu)
Pada tanggal 17 Juni 2015, Pusat Penelitian dan Pengembanga (Puslitbang) Kemenag RI melansir terkait meningkatnya angka cerai gugat secara nasional. Menurut Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, Muharam Marzuki mengatakan,  data kasus perceraian di Badan Pengadilan Agama (Badila) Mahkamah Agung (MA) sejak 2010 ternyata terus meningkat. Puncaknya ada di 2014, kasus cerai gugat di seluruh Pengadilan Agama mencapai 268.381 kasus. (http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=269092) Ini menjadi keprihatinan kita semua. Menurut Muharam Marzuki meningkatnya angka ini dikarenakan adanya kesetaraan suami dan istri dalam penghasilan, banyak istri berpenghaslan lebih sementara tidak sedikit suami yang menganggur (baca:tanpa penghasilan). Juga karena ketidakharmonisan pasangan. Ketidakharmonisan itu banyak penyebabnya, antara lain karena  kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penelantaran suami terhadap istri. Tapi ada juga ketidakharmonisan karena hal-hal sepele seprti istri tidak bisa memasak atau lainnya.
Penyebabnya
          Selain yang telah disebutkan di atas, menurut hemat saya ada beberapa sebab lain, pertama, rendahnya pendidikan agama. Agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan seseorang. Agama akan banyak menuntun seseorang dalam setiap pengambilan keputusan. Bagi mereka yang agamanya kuat tidak akan gegabah, tidak mudah untuk memutuskan bercerai, atau meminta diceraikan. Selain itu agama juga sangat lengkap bagaimana mengatur tentang perkawinan, mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Agama mengajarkan bagaimana cara memilih pasangan,  bersikap realistis dalam kehidupan keluarga, memahami watak suami atau istri, mengatur dan menyeimbangkan  kewajiban dan hak antara suami dan istri, memahami kewajiban bersama dalam mendidik anak dengan membagi tugas sesuai yang disepakati, dan masih banyak lagi.Agama juga memandang bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang berat (QS.04:21), yang menuntut setiap orang di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajibannya. Menurut Jalaluddin Rahmat (1993), masalah akan timbul bila suami sudah mengabaikan kewajibannya, dan istri tak memenuhi hak suaminya. Nah, terlihat dengan jelas bagaimana peran dan pentingnya pendidikan agama dalam menentukan nasib dan perjalanan sebuah keluarga termasuk kelanggenganya.
          Kedua, faktor ekonomi. Faktor ini akan sangat berpengaruh terutama saat sebuah keluarga belum memilki tempat tinggal sendiri. Lebih jelas konflik akan sering muncul saat pasangan suami-istri yang  masih satu rumah dengan mertua. Konflik tidak hanya muncul di antara suami-istri tetapi melebar ke semua penghuni rumah bisa mertua, saudara ipar, dan lainnya.
          Ketiga, faktor intervensi dari luar. Intervensii bisa datang dari keluarga terdekat semisal orang tua, saudara kandung atau lainnya. Intervensi datang tertutama saat ekonomi keluarga belum mantap, apalagi ditambah bila mereka (orang tua, anak, menantu) masih berkumpul dalam satu rumah. Intervensi juga kadang datang dari luar keluarga seperti teman pergaulan, teman pekerjaan. Di sini kedewasaan suami dan istri dibutuhkan  agar tidak cepat mengeluh, membuka aib pasangan ke orang lain.
          Keempat, perselingkuhan. Perselingkuhan identik (walau tidak selalu) dilakukan oleh para suami. Tidak banyak istri yang tabah menghadapi perselingkuhan suami sehingga perselingkuhan juga menjadi salah satu penyebab gugatan cerai istri.
          Kelima, menikah dalam usia dini. Kematangan atau kedewasaan suami-istri akan banyak membantu mereka dalam mengarungi keluarga. Pasangan usia dini sangat rentan menimbulkan konflik karena mereka belum bisa menyelesaikan setiap masalah yang ada. Akhirnya perceraian menjadi solusi bagi mereka.
Solusi ke depan
          Untuk meminimalisir angka cerai gugat di waktu yang akan datang, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan yaitu pertama, meningkatkan pendidikan agama. Penanaman nilai-nilai agama harus dilakukan sejak dini terutama keimanan. Kemudian pemahaman dan penguasaan terhadap hukum agama seperti tentang permasalahan seputar pernikahan mestinya disampaikan sejak di bangku sekolah tingkat atas (SLTA) karena pada usia itu peserta didik sudah mencapai baligh, menjelang masa perkawinan. Ini semua menjadi tanggung jawab para orang tua, tokoh agama, dan para guru Agama baik yang di sekolah apalagi di madrasah.
                    Kedua, menikah dalam usia matang. Dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkaawinan Pasal  7 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Aturan batas usia di atas dapat dilanggar apabila mendapat dispensasi dari pengadilan. Hal ini dinyatakan dalam ayat 2 dalam pasal yang sama, disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Ayat ini yang melegitimasi pernikahan usia muda. Untuk mencegah pernikahan dini pilihannya tidak lain kecuali merevisi ayat ini, atau menghilangkannya. Usia 19 bagi pria dan 16 bagi wanita saja sebenarnya tak cukup matang untuk sebuah pernikahan apalagi dibawahnya. Karenanya Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Pasal 7 disebutkan apabila seorang calon mempelai belum mencapai 21 tahun maka harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua.

      Ketiga, pendidikan pra nikah. Selama ini sebenarnya sudah ada yaitu kursus calon pengantin (SUSCANTIN). Hanya pelaksanaanya kurang maksimal. Pertama karena alokasi waktu yang sangat singkat, malah kadang prosedur itu dilewati hanya sebatas seremonial oleh pegawai KUA. Idealnya KUA atau Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4) berperan lebih jauh misalnya dengan menyelenggarakan pendidikan (DIKLAT)  pernikahan, dilaksanakan dalam beberapa hari dengan kurikulum yang konprehensif. Kemudian peserta yang lulus diberi sertifikat atau piagam. Sertifikat itu menjadi syarat menikah. Prosedur tersebut  dituangkan  dalam sebuah aturan, apakah berupa Undang-ndang, Peraturan pemerintah , atau Perda.

          Keempat, faktor keteladanan. Secara moral para orang tua, para pejabat, para guru, kaum selebriti harus bisa memberi keteladanan kepada pasangan muda. Mereka butuh contoh nyata. Saya sedih, melihat tayangan televisi tentang perceraian para artis atau kaum selebriti lainnya. Trend kawin cerai mereka berdampak negatif bagi masyarakat luas.
          Hal-hal di atas tidak akan berpengaruh apa-apa bila kita tak bergerak, diam seribu bahasa. Solusi di atas membutuhkan sentuhan tangan para pegambil kebijakan, tokoh agama, para pendidik Agama, dan tentu para orang tua untuk melakukan sesuatu guna menimalisir angka perceraian pada umumnya dan kasus cerai gugat lebih khusus.Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat di Harian Radar, Sabtu 27 Juni 2015)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar