Minggu, 28 Juni 2015

BEDA AGAMA TETAP TAK BOLEH MENIKAH



          Kawin beda agama kembali menjadi polemik. Adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi yang telah mengajukan gugatan ke MK. Keempatnya mengajukan uji materi terhadap isi UU yang menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu seperti tertuang dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal  2 ayat 1. Mereka beralasan bahwa aturan itu melanggar hak asasi manusia, mereka merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama. Menurut pemohon, pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama.

            Mahkama Konstitusi (MK) pada kamis 18 Juni 2015 memutuskan menolak uji materi yang di ajukan para pemohon. Dari sembilan hakim hanya satu hakim yang menyatakan beda pendapat yaitu Maria Farida Indrati. MK beralasan (menurut delapan hakim lainnya) bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah suatu pelanggaran konstitusi. Hakim berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial.
Latar belakang
          Kawin beda agama biasanya berlatar belakang cinta belaka. Cinta yang kuat antara seorang pria dan wanita membutakan mata dan telinga sampai nekat berani melanggar norma agama juga hukum negara. Cinta dua sejoli itu mampu berhadapan, menentang tradisi keluarga mereka masing-masing. Dalam banyak kasus, orang tua tak dapat melarang dan mencegah. Kegagalan perkawinan beda agama seringkali karena kesadaran di antara mereka  sendiri bahwa langkah yang mereka ambil bertentangan dengan norma agama, tradisi, dan hukum.
          Dalam banyak kasus, kawin beda agama terlaksana hanya bermodalkan nekad. Keluarga mereka pasti tak menyetujui, apalagi memberi restu. Karena semua agama dan keyakinan mensyaratkan seagama pada pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Bagi orang tua yang taat beragama pastilah tak akan mengijinkan putra/putrinya menikah dengan yang tak seagama.
          Agama merupakan hal yang sangat prinsip. Sedangkan perkawinan menyatukan dua orang untuk menjalani hidup bersama.  Menyatukan watak, sifat, karakter saja bukan hal mudah dalam sebuah keluarga karena masing-masing dari pasangan itu memilki banyak perbedaan. Apalagi berkaitan agama, maka hal ini pasti akan menjadi problem besar sepanjang waktu. Persoalan itu akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Sekuat apapun cinta pasangan beda agama rasanya akan sulit bertahan. Jamal Mirdad-Lidya Kandau misalnya, walau sempat terkategorikan pasangan beda agama terkuat toh pada akhirnya runtuh juga.
Harus bersyukur, kenapa?
          Kita semua layak bersyukur uji materi tentang UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal  2 ayat 1 tidak dikabulkan (baca:ditolak) oleh MK. Kenapa? Karena dalam perkawinan beda agama banyak kemudharatan di antaranya, pertama, berkaitan dengan keyakinan atau agama yang akan dipilih anak. Apakah mengikuti ayahnya atau ibunya? Baik ayah maupun ibu akan menamkan agama yang diyakini ke anak. Nah, bila mereka beda agama, anak mereka akan menjadi korban, menjadi bingung berkepanjangan antara mengikuti agama ayahnya atau ibunya. Bisa jadi anak akan memilih tak beragama. Ini sangat berbahaya.
          Kedua, menjadi penghalang dalam hal warisan. Dalam Islam misalnya, seorang anak yang berbeda agama tidak berhak menerima harta warisan peninggalan orang tuanya. Begitu pula sebaliknya. Persoalan ini tentu tidak mudah. Prihal warisan sering menjadi sengketa berkepanjangan yang memecah keutuhan dan kasih sayang dalam keluarga.
          Ketiga, menggugurkan perwalian. Ayah yang berbeda agama tidak sah menjadi wali untuk pernikahan anaknya. Padahal wali merupakan syarat sah sebuah perkawinan.
          Keempat, status anak mereka juga di tengah masyarakat dipertanyakan karena bila pernikahan beda agama tidak sah menurut agama, maka secara agama anak yang terlahir dari perkawinan tersebut menjadi anak hasil di luar pernikahan bahasa lainnya anak haram. Ini akan menjadi beban psikologis yang sangat berat bagi sang anak selama hidupnya.
Kesimpulan
          Tujuan perkawinan seperti ditegaskan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan  Pasal 1 ayat  1 adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan mulia tersebut tak akan terwujud bila pernikahan mendatangkan  berbagai mudharat seperti disebutkan di atas. Karenanya, hemat saya sangat tepat saat MK memperkokoh UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terutama Pasal 2 ayat 1 yang digugat oleh pemohom.  Kemudian menjadi kewajiban kita semua sebagai warga negara yang baik menaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang atau peraturan sebenarnya untuk kepentingan kita bersama dalam hidup  bermasrarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga dengan keputusan Mahkamah Konstitusi ini akan mengakhiri polemik berkepanjangan yang selama ini terjadi di antara kita anak negeri, amin.
(Dimuat di Harian Radar Cirebon, Senin 29 Juni 2015)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar