Selasa, 09 Juni 2015

MENGGANTI TRADISI, USAI LULUS UN



          Hari ini 10 Juni 2015 adalah jadwal diumumkannya kelulusan UN SLTP. Menjadi tradisi peserta didik kita setelah dinyatakan lulus mereka mengekspresikan kegembiraannya dengan melakukan sesuatu yang negatif semisal mencorat-coret baju, tembok sekolah dan lainnya. Juga ngebut di jalan raya ramai-rama dengan mengeraskan knalpot, berteriak-teriak. Mereka konvoi keliling kota, berboncengan lebih dari tiga orang, tak berhelm, dan melanggar setiap rambu-rambu lalu lintas. Ada apa sebenarnya dengan mereka?
          Dari pengamatan saya, mereka melakukan hal semacam di atas bertujuan (baca:bermotif), pertama, sebagai ungkapan kegembiraan mereka yang secara spontan setelah mengetahui hasil UN. Kegembiraan yang meluap-luap membuat mereka lupa dengan nilai etika, sosial, juga agama. Luapan kegembiran tak mampu mengendalikan emosi sehingga melakukan hal-hal yang tak perlu, berbahaya, serta melanggar norma sosial, hukum juga agama. Usia mereka yang relatif mudah, cara berpikir yang belum matang, serta lingkungan mereka yang rentan dari hal-hal negatif menjadikan mereka tak sadar bahwa mereka terjerumus ke hal-hal negatif.
          Kedua, untuk menunjukan eksistensi. Siswa-siswi SLTP sebagai anak remaja yang labil biasa menuntut pengakuan dari masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Pengakuan dari masyarakat atau lingkungan akan menunjukan eksitensi mereka. Untuk tujuan tersebut mereka terkadang melakukan segala cara, yang bisa jadi tidak lazim atau tak biasa. Dan mereka tidak mau memahami bahwa apa yang dilakukan menggangu orang lain, mencemaskan orang tuanya, dan mengoyak ketertiban.
          Ketiga, mencari identitas diri. Menurut Erik Homburger Erikson menyatakan bahwa identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau orang dewasa, apakah ia mampu percaya diri, sekalipun latar belakang ras, agama maupun nasionalnya. Pencarian identitas ini menurut Erikson mempengaruhi perilaku remaja, dan salah satu cara untuk menguatkan identitasnya ini, biasanya menggunakan simbol status dalam bentuk motor, mobil, pakaian, dan pemilihan barang-barang lain yang mudah terlihat, dengan kata lain untuk menarik perhatian. Dan rupanya pengumuman kelulusan dijadikan momentum untuk mencari identitas diri. Seakan mereka telah menemukan jati dirinya saat menyaksikan keberhaslian lulus UN.
Mengubah Tradisi kearah positif
       Tradisi negatif seperti dijelaskan di atas ternyata khas Indonesia. Artinya tradisi corat-coret, konvoi di jalan raya dan lainnya tak didapati di negara lain saat kelulusan sekolah. Sebagai bangsa yang memiliki banyak karakter baik yang diakui oleh bangsa lain seperti budaya ramah, gotong royong, toleransi dan lainnya tentu hal ini mencoreng kita semua sebagai bangsa yang berbudaya dan teradab. Karenanya, saatnya kita mengubah tradisi itu ke arah yang lebih positif. Dan menjadi tanggung jawab kita semua, para orang tua, para pendidik, pemerintah juga masyarakat luas untuk bisa membantu terwujudnya  perubahan tersebut.
          Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama, sosialisasi bahwa UN telah berubah. Peran UN telah tereduksi. UN tak seperti dulu lagi. Mendiknas (2015) merilis UN hanya untuk 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan  2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak lebih dari itu. Tidak seram lagi seperti dulu. Sosialisasi dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat, pemahaman masyarakat tentang peran dan fungsi UN yang telah berubah diharapkan menjadi pencegah tindakan tidak pantas siswa-siswi. Sebenarnya , siswa-siswi sudah memahami hal itu karena sekolah,  juga pemerintah pusat melalui layanan televisi telah menyampaikan. Hanya sosialisasi, barangkali belum berbuah kesadaran. Atau mereka merasa sedang mempertahankan tradisi.
          Kedua, melakukan desakralisasi UN. Selama ini UN telah menjadi sesuatu yang sangat sakral. Siapa yang membuatnya sakral? Awalnya, tentu kalangan pendidik sendiri saat memahami betapa besar peran dan fungsi UN yang menjadi penentu tunggal kelulusan peserta didik. Nah, sekarang saat UN tidak berpengaruh signifikan lagi mejadi tanggung jawab para guru, sekolah untuk mendesakralisasi UN. Anggap UN seperti ulangan harian, tidak lebih.
          Ketiga, ketegasan sekolah. Sekolah sebagai lembaga yang selama ini mendidik para siswa tentunya mempunyai pengaruh yang besar bagi perilaku siswa-siswinya dalam menyambut kelulusan. Sekolah mempunyai otoritas penuh untuk melarang praktik corat-coret atau lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan. Jika di detik-detik akhir masa aktif ini, sekolah tidak mampu mendidik mereka, maka hal ini akan menjadi sebuah pembelajaran yang su’ul khotimah, akhir yang buruk. Sekolah harus tegas melakukan treatment dan sanksi bagi siswanya yang masih melakukan aksi corat-coret dan konvoi. Sanksi bisa berupa pemanggilan orangtua wali, penangguhan ijazah bagi siswa yang bersangkutan atau lainnya.
          Keempat, melakukan penyadaran akan nilai negatif dalam tradisi corat-coret, konvoi, dan lainnya. Tentunya ini bukanlah persoalan mudah, karena tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Proses penyadaran ini sudah seharusnya include dalam proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah yang selama ini dilakukan. Inilah proses pembentukan karakter siswa. Jika siswa sudah sadar dan terbangun karakter yang kuat, maka secara otomatis mereka tidak akan melakukan aksi yang bertentangan dengan nilai dan norma yang ada. Dan hal itu adalah tantangan bagi orangtua di rumah dan guru di sekolah.
          Kelima, mengganti dengan tradisi atau kegiatan yang positif. Tugas kita semua, baik kalangan pendidik, orang tua masyarakat luas untuk mendorong dan memberi motivasi agar mengganti tradisi corat-coret, konvoi di jalan raya dengan kegiatan positif seperti menggelar bakti sosia semisal donor darah, memberi santunan ke anak yatim, atau memberi pakaian layak pakai ke yang membutuhkan. Bisa juga dengan mengadakan syukuran dengan makan-makan di sekolah. Saya ingat saat di SD dulu, setiap akhir tahun waktu bagi rapot siswa-siswi diminta membawa tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Tumpeng itu dipotong oleh guru kelas, setelah itu makan bersama. Indah rasanya bila mengingatnya.
          Menjadi tanggung jawab semua pihak untuk membimbing dan menumbuhkan karakter baik bagi anak-anak kita, generasi muda. Salah satunya dengan mengganti tradisi-tradisi buruk yang biasa dilakukan dengan tradisi yang lebih baik, lebih berkarakter, lebih bersifat ke-Indonesian.
(Tulisan dimuat ini di Harian Radar Cirebon, Kamis, 11 Juli 2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar