Minggu, 28 Juni 2015

Jokowi Salah Lagi, Salah Lagi



          Nampaknya mejadi presiden harus siap disorot, diamati, dinilai dalam segala hal termasuk pada soal-soal kecil sekalipun. Dua pekan ini publik kembali mempersoalkan kesalahan yang dilakukan presiden. Jokowi salah lagi. Ada peristiwa yang menjadi sorotan, bahkan berujung cacian, tentu dari lawan-lawanya. Pertama, Jokowi salah kostum dalam menerima tamu. Pada hari Selasa 16 Juni 2015, presiden Jokowi menerima Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin di Istana Merdeka. Saat menerima Din Syamsuddin, Jokowi mengenakan pakaian militer lengkap dengan baret warna hijau. Kedua, presiden makan minum dengan tangan kiri sambil berdiri. Yaitu saat berbuka bersama dihadapan anak-anak yatim se-jobodetabek pada hari kamis 18 Juni 2015 di istana negara. Jokowi terlihat minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri. Momen ini tak luput dari jepretan para wartawan. Perbincangan publik pun mulai ramai, menyalahkan, menggunjing, bahkan sebagian mencaci.
Jokowi memang beda
          Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela pak Jokowi. Hanya yang perlu disadari oleh kita semua bahwa setiap pemimpin itu memiliki tipikal, ciri, gaya masing-masing dalam segala hal seperti  gaya bicara, cara berpakaian, bagaimana berpenampilan, nampang di layar kaca dan lainnya. Dan kebetulan Jokowi memang banyak memiliki perbedaan dengan presiden-presiden sebelumnya dalam berpakaian misalnya. Dalam berpakaian Jokowi dikenal sederhana dan simpel, tentu menurut ukuran seorang presiden. Dalam soal pakain, sempat juga jadi sorotan publik saat kunjungan pertama beliau ke Brunai Darussalam pada tanggal 9 Februari 2015. Saat bertemu dengan Sultan Hassanal Bolkiah, ada yang cukup mengganggu dalam penampilan Jokowi ketika itu. Satu buah kancing dalam jas yang dikenakannya terlihat tak terpasang. Hal itu membuat dasi yang terselip dengan cukup panjang di dalamnya tampak menyembul. Cara berpakaian beliau jauh dari kata necis, berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya pak SBY misalnya.
          Kaitan dengan salah kostum dalam menerima tamu, sebenarnya pihak istana sudah melakukan klarifikasi bahwa saat itu presiden baru saja menghadiri acara bersama TNI. Sedangkan Din Syamsuddin beserta rombongan sudah terlalu lama menunggu. Mengambil langkah praktis, presiden langsung menemui. Itulah Jokowi. Orang kebanyakan bisa jadi menganggapnya sebagai sesuatu yang salah tapi ia tetap  memilih caranya sendiri dalam menghormati dan menghargai tamu. Di matanya apalah arti pakaian ketimbang menjaga perasaan tamu karena terlalu lama menunggu.
          Kemudian mengenai buka bersama, memang istana mendesain acara tersebut dengan nuansa berdiri. Hal demikian bertujuan untuk menggambarkan keakraban presiden dengan tamunya, anak-anak yatim. Tapi yang disesalkan, persoalan sepele itu ditarik jauh pada keagamaan sang presiden. Kenapa saya mengatakannya sepele? Misalnya mengenai tata cara makan-minum, ternyata di samping ada larangan makan-minum dengan berdiri juga ada hadist yang membolehkannya.  Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.(HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027) Dalam hadist lain, dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangi pintu ar- Raghbah lalu minum sambil berdiri. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no. 5615) Jadi sangat tak elok kalau kita memperbesar isu persoalan agama yang masih dalam perdebatan dan perselisihan status hukumnya.
Mengambil pelajaran
          Namun demikian, tetap saja hal-hal di atas harus menjadi pelajaran bagi kita semua terutama orang-orang yang berada sekitar pak presiden. Ke depan harus lebih hati-hati, lebih teliti dalam menyiapkan hal-hal yang terkait presiden. Berikut pelajaran atau hikmah yang bisa dipetik oleh semua pihak, pertama, mengkritisi pemerintah terutama presiden memang kewajiban kita semua. Itu juga tanda atau bukti kalau kita mencintai dan menyayangi pemimpin agar tidak terpeleset pada kesalahan terutama dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Tapi tidak berarti semua hal yang ada pada presiden kita bebas mengoreksi, menyoroti, apalagi mencaci maki. Pada hal-hal yang tidak prinsip misalnya, tak seharusnya kita menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkannya. Masih banyak yang lebih penting yang memerlukan kajian oleh kita semua. Jangan sampai kita kehabisan energi dalam hal sepele, urusan bangsa dan negara yang lebih besar terlewatkan dari mata dan pikiran kita.
          Kedua, luruskan niat. Niat kita harus kritik membangun, bukan kritik menjatuhkan. Ini penting, agar tata cara berpolitik, berbangsa dan bernegara kita bermoral dan bermartabat. Sebagai bangsa yang memiiki akar budaya dan moralitas yang kuat, banyak contoh yang telah ditunjukan oleh para pendahulu. Selayaknya kita meniru mereka dalam berbangsa dan bernegara. Jika semangatnya menjatuhkan maka hal kecil nan sepele akan terlihat besar dan bisa dibesar-besarkan.
          Ketiga, melihat sesuatu secara proporsional, dan dari sudut pandang yang tepat. Ini penting agar penilain kita terhadap seseorang atau terhadap permasalahan menjadi adil. Jika tidak, kita akan terjebak pada mencar-cari kesalahan orang. Itu tentu bukan karakter bangsa kita.
          Terkhir saya mengutip Dr. Nurcholis Madjid (1992),  bahwa dalam hidup, kita dihadapkan pada pilihan moral fudamental, bahasa lain dari akhlak karimah. Karenannya, mari kita kedepankan akhlak mulia dalam segala tindak tanduk kita. Akhlak akan menuntun ke kehidupan  yang lebih baik. Dalam konteks berbangsa dan bernegara sangat relevan akhlak menjadi panglima. Apalagi di bulan suci Ramadhan,  selayaknya kita mengintropeksi diri untuk memperbaiki kualitas hidup di waktu yang akan datang. Dan semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua. Amin. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar