Minggu, 07 Juni 2015

TERNYATA DOSEN JUGA PALSU



Di tengah pembicaraan publik cukup panjang mengenai ijazah palsu, saya terkejut saat membaca tulisan saudari Cucum Suminar di salah satu media online nasional. Ternyata selain ijazah palsu, ada juga dosen palsu.  Berikut saya kutip sebagian tulisannya, tahun 2007 saat saya baru beberapa bulan lulus dari jenjang magister, saya sempat ditawari oleh salah satu teman untuk menjadi dosen tetap di salah satu perguruan tinggi di wilayah Jawa Barat. Namun teman saya itu mengatakan, saya tidak perlu datang ke kampus untuk mengajar, saya hanya perlu mengirimkan salinan ijazah dan transkrip nilai yang sudah dilegalisasi oleh perguruan tinggi tempat saya belajar. Sebagai kompensasi, setiap bulan saya akan mendapatkan uang Rp500 ribu. Salinan ijazah tersebut digunakan untuk EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri) yang harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi untuk mengurus akreditasi. Salah satu syarat untuk mendapatkan akreditasi adalah ketersediaan dosen yang seimbang dengan mahasiswa. Perguruan tinggi tersebut tentu akan mendapatkan nilai lebih bila dosen mereka minimal lulusan strata dua dengan jurusan yang linear. Seperti yang kita tahu, bila perguruan tinggi tidak mendapatkan akreditasi, otomatis perguruan tinggi tersebut tidak berhak mengeluarkan ijazah dan meluluskan mahasiswa.Saat mendapatkan tawaran dari rekan saya tersebut, saya dengan tegas menolak. Apalagi saat itu saya sudah mengajar paruh waktu di almamater saya. Saya hanya berpikir, bila nama saya digunakan sebagai dosen tetap di perguruan tinggi lain, belum tentu almamater saya mau menerima saya sebagai dosen paruh waktu.( http://www.kompasiana.com/cucum-suminar/selain-ijazah-palsu-ada-dosen-palsu)
            Pengakuan di atas tentu mengejutkan kita semua. Sedemikian jauhkah ketidakjujuran dan kepalsuan dalam dunia pendidikan? Kita pasti prihatin dan sedih. Angan-angan mewujudkan generasi berkarakter terhempas, ibarat mimpi di siang bolong. Bagaimana tidak? Saat kepalsuan dan ketidakjujuran telah menggurita di tubuh  dunia pendidikan, menjadi mustahil kita mencetak generasi berkarakter.
          Menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi  bab.I Pasal 1 disebutkan dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat. Membaca definisi dosen yang sedemikan hebat, kenapa perguruan tinggi masih berani memalsukan? Ini sebuah ironi memilukan dan memalukan. Ibarat tanparan telak pada keilmuan. Apa yang melatarbelakanginya?
Penyebab dan solusi
          Menurut hemat saya ada beberapa hal yang meletarbelakangi,  pertama, longgarnya pengawasan. Menurut UU No.12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi bab. II Pasal 7, secara umum yang bertanggung jawab penyelenggaraan perguruan tinggi adalah Menteri. Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud mencakup  1)pengaturan, 2)perencanaan, 3)pengawasan, 4)pemantauan, dan 5)evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Lebih jauh kewenangan menteri diatur dalam Peraturan Pemerintah No.04 Tahun 2014  tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Sampai di sini bisa disimpulkan, kementerian pendidikan tinggi mengemban tanggung jawab besar atas longgarnya pengawasan sehingga mendorong kecurangan dan kepalsuan. Ini menjadi PR penting untuk Menteri Pendidikan Tinggi. Ke depan pengawasan seharusnya dijalankan dengan ketat sesuai tuntunan perundang-undangan yang ada. Dalam kaitan dengan pengawasan terhadap perguruan tinggi swasta (PTS) Prof Dr. Nanat Fatah Nasir pernah mengusulkan untuk mengaktifkan kembali Kopertis. Sebab di PTS kerapkali terjadi praktek-praktek menipulasi, memalsukan data dan lainnya untuk kepentingan  keberlangsunganya. Usulan tersebut layak dipertimbangkan, atau bisa juga dibentuk lembaga lain yang menjadi tangan panjang kementerian pendidikan tinggi, khusus melakukan pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran yang dilakukan perguruan tinggi.
          Kedua, faktor rendahnya integritas di kalangan penyelenggara pendidikan atau lebih jauh kita semua sebagai bangsa. Integritas diartikan sebagai konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Pendidikan kita belum berhasil mencetak generasi yang memiliki integritas tinggi, berkarakter kuat, serta berakhlak mulia. Pendidikan kita hanya mampu melahirkan orang-orang pandai, cerdas, juga trampil. Hal ini menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab dunia pendidikan sendiri  di masa yang akan datang untuk  melakukan revolusi yaitu perubahan besar-besaran di bidang pendidikan dengan melibatkan peran serta semua elemen bangsa. Revolusi difokuskan pada gerakan jujur massal di setiap aktivitas kependidikan. Kejujuran harus ditanamkan sejak dini. Para pendidik selayaknya memberi contoh. Keteladanan akan mempercepat penanaman kejujuran pada peserta didik. Menteri Anies Baswedan dalam sebuah acara di salah satu televisi nasional beberapa waktu lalu menegaskan dengan optimis bahwa penanaman kejujuran yang kita lakukakan sekarang akan merubah wajah Indonesia 10 sampai 15 tahun ke depan. Indonesia akan bersih dari korupsi, kepalsuan, dan kemunafikan.
Ketiga, bisnis menghalalkan segala cara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga-lembaga pendidikan di semua jenjang (terutama lembaga swasta) beraroma bisnis. Mendirikan lembaga atau sekolah  untuk meraup keuntungan bukan semata-mata membantu pemerintah mencerdaskan anak bangsa. Niat dan motivasi seperti ini harus dibuang. Karena bila motivasi dan niat mendirikan sekolah atau lembaga untuk tujuan berbisnis, maka bisnis cenderung menghalalkan segala cara demi meraih apa yang menjadi target. Sekarang lembaga atau sekolah menjamur. Berbagai pihak mendirikan. Contoh kecil, saat SMK (sekolah menengah kejuruan) menjadi pilihan tervaforit calon peserta didik semua pihak berbondong-bondong mendirikan SMK. Begitu pula perguruan tinggi. Ketika guru menjadi profesi menjanjikan setelah adanya tunjangan profesi yang menyedot calon mahasiswa keguruan, sekolah tinggi keguruan pun bermunmunculan di mana-mana. Akhirnya berbisnis sekolah menjadi pilihan menarik, hanya sayangnya mengabaikan nilai-nilai luhur, etika, moral, serta agama.
Singkatnya, pemalsuan data dosen telah memperpanjang deretan permasalahan dunia pendidikan tinggi setelah sebelumnya ijazah palsu menjadi isu nasional yang banyak menarik perhatian publik. Pemerintah dalam hal ini kementerian riset dan pendidikan tinggi harus bekerja cepat menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Tentu kita masih optimis bahwa kejujuran akan segera datang, menggantikan kepalsuan di setiap sisi kehidupan. Dan saatnya orang jujur berbicara melawan ketidakjujuran dan kepalsuan karena ketika mereka diam secara tidak langsung menanam andil keseburan kepalsuan dan ketidakjujuran.Wa allahu alam
(Tulisan pernah dimuat di harian Radar Cirebon, Senin, 8 Juni 2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar