Jumat, 11 Maret 2016

Demokrasi, Apa harus Gaduh?


          Melalui juru bicaranya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekesalan dan kemarahannya terhadap menteri yang berpolemik, berdebat,  berseteru di ruang publik termasuk di media sosial.  Belum lagi dengan menteri yang suka mendahului, berbicara ke publik dengan mengatasnamakan presiden. Juga menteri yang gemar mengomentari, mengkritisi atau menyalahkan kebijakan menteri lain.
          Menurut Johan Budi,  presiden tidak senang dengan perseteruan para menteri. Apalagi, ada beberapa menteri yang sudah menyerang secara personal dan dengan jelas dilihat publik. Padahal Presiden berulang kali  menegaskan bahwa  hal seperti ini harus  dihentikan. Kepada para menteri perdebatan hanya ada di ruang rapat terbatas atau rapat kabinet. Hal ini disampaikan oleh presiden  dengan bahasa jangan membuat gaduh di luar.
          Melalui Johan, Jokowi mengingatkan bahwa menteri adalah pembantu presiden yang harus selalu patuh pada perintah dan arahan. Oleh sebab itu,  ditegaskan bahwa presiden marah dengan perseteruan yang terjadi antar menterinya karena sudah mengarah ke tindakan kontra produktif. Dan ini akan menjadi pertimbangan Presiden dalam mengevaluasi para menteri.
          Paling mutakhir perseteruan atau kegaduhan dalam kebinet dipertontonkan oleh Menteri Energi Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dengan Menko Kemaritiman Rizal Ramli. Perseteruan keduanya dipicu perbedaan pendapat mengenai rencana pembangunan kilang gas Blok Masela.‎ Rizal Ramli berpendapat pembangunan dilakukan di darat. Sementara menurut Sudirman Said pembagunan harus dilakukan di laut. Perseteruan kedua anggota kabinet ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya mereka berseteru terkait soal perpanjangan kontrak PT Freeport.
          Terkait blok  gas lapangan abadi Masela, pemerintah disodorkan dua dua pilihan. Pertama, membangun kilang terapung gas alam cair (Floating LNG Plant). Yang kedua, membangun kilang gas alam cair di darat (On shore LNG Plant) dan mengalirkannya dengan menggunakan pipa sepanjang 600 km ke Pulau Aru.
Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli memilih yang kedua. Alasannya, investasi  yang dibutuhkan ‘hanya’ sekitar US$14 ,6 miliar. Sedangkan bila yang dibangun Floating LNG Plant, maka butuh duit sebanyak US$19,3 miliar. Berbeda dengan Rizal,  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, lebih suka yang kedua. Begitu juga dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu (SKK) Migas. Mereka berdua pihak satu suara, FLNG Plant!. Menurut Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, angka yang disodorkan Rizal Ramli terbalik. Itulah sebabnya SKK Migas memberi rekomendasi agar pemerintah membangun FLNG karena lebih murah ketimbang On shore LNG Plant. Bagaimana dengan Sudirman? Dia lebih suka memenuhi rekomendasi dari SKK Migas.) (http://www.rmol.co/)
Kasus di atas bukanlah yang pertama. Perseteruan para menteri yang menimbulkan kegaduhan politik itu kerap terjadi. Sebelumnya, ada perseteruan Menteri BUMN Rini Sumarno dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan terkait proyek kereta cepat Jakarta- Bandung. Juga Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti  dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong terkait regulasi yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan tentang berbagai produk kelautan dan perikanan. Gaduh pula ditimbulkan oleh Menteri Yudi Crisnandi terkait pengumuman hasil Evaluasi Kementerian dan lembaga negara.
Di balik polemik di atas terlintas pertanyaan, apa demokrasi itu harus gaduh? Pertanyaan ini menarik didiskusikan. Kenapa? Karena seringnya kegaduhan terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK dan anggapan bahwa adem ayem (dalam tanda petik) tidak mencerminkan dinamika kebebasan berpendapat dan hidupnya demokrasi.
Sebenarnya gaduh atau tidak bukan ukuran demokrasi. Gaduh hanya akibat dari praktek kehidupan berdemokrasi. Demokrasi tak selalu menimbulkan kegaduhan politik. Karena kegaduhan bukan pilar atau ciri demokrasi. Menurut Reza A.A Wattimena, dosen Fislafat Politik UNIKA Widya Mandala, pilar demokrasi itu ada empat. Pertama, kemampuan mengelola pendapat secara sehat. Perbedaan adalah fakta hidup. Tak ada pola hidup yang seragam. Penyeragaman adalah pemaksaan. Pemaksaan ciri pemerintahan yang otoriter dan totaliter. Demokrasi tidak untuk menyeragamkan kehidupan melainkan memelihara dan mengelola perbedaan sehingga menjadi energi untuk mewujudkan  keadilan dan kemakmuran.
Dalam masyarakat demokratis, perbedaan adalah sesuatu yang dibanggakan  asal semua perbedaan dikelola dengan prinsip fairneess. Artinya, segala persoalan dan keputusan dibicarakan secara bersama secara terbuka di ruang publik yang bebas dan egaliter.
Kedua, tidak adanya kekuasaan  politik yang bersifat mutlak. Kekuasaan politik  bersifat relatif. Artinya kekuasaan tersebut ada, selama ia masih berperan dalam mengupayakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika ia dianggap gagal dalam menjalankan misi tersebut, maka kekuasaan politis itu harus dicabut, dan diberikan kepada pihak lain yang lebih kompeten. Kekuasan absolut seperti pada pemerintahan monarki dan totaliter tidak berlaku dalam pemerintahan demokratis.
Ketiga,  asas akuntabilitas dan transparansi. Transparansi atau keterbukaan merupakan ciri utama demokrasi. Setiap kebijakan yang diambil  penguasa (pemerintah) harus dilakukan secara terbuka sehingga dapat dipahami oleh rakyat. Rakyat bisa terlibat di dalamnya. Karena bagaimanapun kebijakan itu akan berkaitan dengan mereka. Transparansi berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat. Pertanggungjawaban atas setiap kebijakan yang diambil disebut asas akuntabilitas.
Keempat, partisipasi publik. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai penguasa, rakyat harus cerdas dan kritis dalam menjalankan dan mengawasi gerak roda politik. Rakyat juga dituntut cerdas, kritis dan aktif ambil bagian mengawasi kekuasaan. Sehingga mereka terhindar dari segala bentuk kekuasaan absolut, otoriter dan totaliter.
Walhasil, demokrasi tak harus gaduh. Kegaduhan politik tak lebih sebagai akibat kehidupan berdemokrasi. Tapi berdemokrasi yang tak menimbulkan kegaduhan berlebihan tentu lebih baik. Karena kegaduhan yang berlebihan akan berdampak negatif pada kehidupan sosial masyarakat juga ekonomi nasional. Namun demikian kita wajib menghargai setiap perbedaan. Perbedaan pendapat anggota kabinet dapat diikuti dengan kajian dan partisipasi aktif dari publik sehingga kegaduhan berdampak positif.  Kegaduhan bisa mendorong partisipasi aktif rakyat terkait setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Wa Allahu Alam
Dimuat di RADAR CIREBON, Selasa 8 Maret 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar