Jumat, 11 Maret 2016

Menguatkan ata Membubarkan DPD


           Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kembali dipertanyakan. DPD sebagai lembaga yang lahir dari rahim reformasi itu dianggap tak memberikan kontribusi yang berarti bagi bangsa dan negara. Kewenangan DPD dinilai  sangat sedikit. Hal ini yang menguatkan pandangan sebagian masyarakat bahwa keberadaan DPD tidak jelas. DPD  dilihat antara ada dan tiada. Ada karena memang 132 anggota BPD secara faktual  ada sesuai amanat  UUD 1945 Pasal 22 C. Tiada karena sangat minimnya  peran, aktivitas, dan kinerja mereka. Sebab itu, wacana pembubaran DPD kerap muncul dalam ruang publik.
          Paling mutakhir wacana pembubaran DPD disampaikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bagi PKB pembubaran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan hal logis apabila kewenangann lembaga legislatif itu tidak diubah.  Sekretaris Jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengatakan, DPD tidak memiliki kewenangan, kecuali hanya mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) dan ikut membahasnya.  Namun pada praktiknya,  keterlibatan DPD pada pembahasan UU juga sangat terbatas.  DPD tidak memiliki kewenangan dalam memutus dan menyetujui anggaran dan UU. Padahal anggaran yang dibutuhkan DPD untuk setiap tahunnya  sangat besar. (http://nasional.sindonews.com/)
          Dalam UUD 1945 Pasal 22 D, kewenangan DPD adalah mengajukan RUU kepada DPR terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD dapat membahasnya bersama DPR usulan RUU tersebut, tapi DPD tak dilibatkan (baca:tak memiliki kewenangan) dalam pengesahan UU  yang diusulkan.
          Kemudian DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama. DPD juga dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, dan pemakaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama kemudian menyampaikannya kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
          Terkait wacana di atas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Farouk Muhammad merespons positif usulan pembubaran DPD yang digagas oleh PKB dalam Musyawarah Kerja Nasional beberapa waktu lalu. Farouk menilai wacana tersebut merupakan sinyal dukungan PKB agar para senator dapat memperkuat lembaga perwakilan rakyat daerah itu di parlemen. Dia memahaminya bukan pembubaran tapi usulan alternatif, DPD mau dibubarkan atau diperkuat. Paling tidak PKB telah membuka wacana untuk melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar (UUD).
          Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menyarankan pembubaran DPD jika tidak ada komitmen untuk memperkuat fungsi lembaga tersebut. DPD diharapkan menjadi lembaga penyambung aspirasi daerah di parlemen. Untuk itu  pembahasan mengenai evaluasi DPD perlu segera dilakukan. Jika tidak, posisi lembaga ini akan tetap tanggung. (http://nasional.republika.co.id/)
Aksesoris Demokrasi
          Wacana pembubaran DPD harus ditanggapi secara positif. Paling tidak bisa dijadikan sebagai kritik atau evaluasi terhadap tatanan demokrasi di negeri ini. Sebab selama ini DPD dipandang hanya sebagai aksesoris demokrasi.  Selama ini DPD sulit berjalan karena kedudukan dan wewenangnya masih sangat lemah. DPD RI selalu dikalahkan oleh DPR RI. Mustinya, berdasarkan asas bikameral maka peran DPD RI  dan DPR RI itu setara dan sama sama kuat baik dalam pengajuan, pembahasan dan pengesahan RUU (legislasi) serta terkait anggaran (budgeting). Sistem bikameral telah diterapkan di Amerika Serikat melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Indonesia sebenarnya menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar (bikameral) melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), hanya dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.
            Layaknya aksesoris, DPD RI sekarang ada sekadar pelengkap. Tidak lebih. DPD terkukung oleh keterbatasan kewenangan yang dimilikinya. DPD tak bisa banyak berbuat. Dan keadan seperti ini yang disayangkan oleh sejumlah pihak, termasuk PKB. Ini menjadi pekerjaan rumah ketua DPD, Irman Gusman agar bisa menghadirkan  DPD di masa yang akan datang lebih kuat lagi. Karenanya, Irman mengusulkan, mengharapkan adanya perbaikan status DPD dalam amandemen UUD 1945.
          Menyikapi wacana dan diskursus yang ada, menurut hemat saya kita harus menyamakan persepsi pada hal-hal berikut: pertama, proses demokrasi itu tak pernah mandeg.  Demokrasi sangat  dinamis. Demokrasi selalu berkembang.  Demokrasi mengikuti aspirasi yang muncul dari rakyat. Untuk itu, demi mencapai cita-cita bersama mewujudkan Indonesia yang demokratis apa pun yang bisa diupayakan layak diperjuangkan.
          Kedua, UUD 1945 sebagai pilar bangsa bukan sesuatu yang permanen. UUD !945  bisa diamandemen. Amendemen harus menimbang kebutuhan dan aspirasi yang berkembang. Amendemen memang bukan hal sepele. Karenanya, kajian dari semua pihak diperlukan. Partai politik sebagai pelaku demokarasi idealnya menadi inisiatif itu.
          Ketiga, menguatkan atau membubarkan. Terkait wacana tentang DPD pilihan memang hanya itu. Kita tidak boleh membiarkan DPD dalam ketidakjelasan. DPD harus diperkuat kewenangannya atau dibubarkan. 
          Walhasil, eksistensi DPD yang dianggap antara ada dan tiada harus segera dicarikan solusi. Gagasan yang diungkapkan PKB seyogyanya mengingatkan bahwa ada yang belum sempurna dalam tatanan demokarasi kita. Karenanya, kita wajib bersikap. Jangan membiarkan DPD dalam ketidakjelasan. Maka tidak ada pilihan lain kecuali menguatkan atau membubarkannya. Namun seperti ditegaskan Anggota DPD Jawa Barat, Dra. Hj. Eni Sumarni M.Kes membubarkan DPD merupakan kemunduran demokrasi dan mengingkari semangat reformasi. Karenanya pilihan yang rasional saat ini adalah menguatkan DPD. Amendemen UUD 1945 menjadi alternatif solusi yang harus segera diambil. Tidak boleh tidak.  Dengan amandemen, kewenangan DPD diperkuat. DPD setara dengan DPR, sistem bikameral dapat diterapkan secara sempurna. Wa Allahu Alam
Tulisan pernah dimuat di Harian Radar Cirebon, Selasa, 8 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar