Kamis, 31 Maret 2016

Menyikapi Polarisasi Jokowi-SBY





          Judul dan tulisan ini tidak bermaksud menjadikan kedua tokoh itu berhadapan, berkonfrontasi. Untuk itu, mengawali tulisan, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa polarisasi itu. Polarisasi, menurut kbbi.web.id  ialah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Saya melihat pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik juga media sosial, masyarakat terbelah mengikuti perkembangan poltik terkait Jokowi-SBY.  Kalau saat Pilpres bisa dimaklumi.  Mereka terbelah karena calon presiden hanya dua.  Tapi kalau sekarang, nampaknya ada yang salah. Ada yang harus dikoreksi bersama.
          Sejak  Presiden Joko Widodo dilantik dan memimpin pemerintahan, mantan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) senantiasa mengikutinya. SBY kerap mengkritisi kebijakan yang diambil Jokowi. Beliau membandingkannya dengan masa saat memimpin negeri ini. SBY juga menampik berbagai hal yang dianggap publik sebagai warisan yang membebani pemerintahan baru. Kritik, sarannya disampaikan SBY di media sosial seperti twiter. Publik dengan mudah mengaksesnya. Cuitan SBY kadang ditanggapi pula oleh Jokowi. Jadilah isu politik. Masyarakat yang mengikuti menjadi terbelah. Mereka saling adu argumen menguatkan tokoh yang dipilihnya. Ironisnya, tidak sedikit yang telah keluar dari koridor diskusi. Mereka saling mengejek, menyudutkan, juga mengecam.
          Paling mutakhir tentang  Tour De Java yang dilakoni SBY. Tour De Java dimulai sejak 8 Maret dari Bekasi, Jawa Barat. Perjalanan SBY dan rombongan  melintas sejumlah daerah dari Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur, serta ditutup dengan rapat konsolidasi dengan ketua DPD, pengurus DPP, dan puluhan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI di  Surabaya.
          Dalam Tour De Java, SBY kembali melancarkan  kritik terkait berbagai hal. SBY mengkritik soal pemborosan uang negara dalam pembangun infrastruktur ala Jokowi. Juga soal kebijakannya saat memerintah yang dihapus. SBY sempat menegaskan kalau program yang dulu saya canangkan dilanjutkan walau berganti nama itu dimaklumi. Tapi kalau ada program yang baik untuk rakyat ditiadakan itu sangat disayangkan.
SBY dan partai Demokrat dibaca oleh publik sedang menjajagi suara rakyat. Partai yang di ujung pemerintahan SBY menghadapi berbagai masalah itu ingin memantau secara langsung aspirasi masyarakat. Aspirasi yang diterima di lapangan akan dikaji lebih jauh. Dan tentu segera mengambil langkah politik strategis.  Dalam Tour De Java tersebut, Isu pencalonan kembali, atau pencalonan Ani Yudhoyono di Pilpres 2019 pun mencuat.  Bahkan di media sosial, Ani Yudhoyono disiapkan sebagai capres Demokrat mendatang pernah menjadi trend topic. Sebagian elit partai berlambang mercy  itu pun mengamini.
Secara kebutulan, Presiden Jokowi melakukan blusukan ke Hambalang. Jokowi melihat langsung mega proyek yang terhenti karena banyak kasus korupsi.  Jokowi menegaskan akan memerintahkan jajaranya dalam pemerintahan untuk mengkaji ulang apakah bisa dilanjutkan atau tidak? Karena ini terkait uang negara yang tidak sedikit.
Blusukan ala Jokowi ini terjemahkan oleh para pengamat sebagai serangan balik Jokowi pada SBY. Pengamat politik dari Indobarometer, M Qodari, menilai, blusukan  Presiden Joko Widodo ke area pembangunan pusat olahraga Hambalang yang mangkrak merupakan sindiran keras terhadap SBY. Blusukan itu bukan sekadar bicara warisan Pak SBY, melainkan juga pembangunannya yang dihentikan karena banyak kasus korupsi dari sana yang melibatkan tokoh-tokoh Partai Demokrat. (http://nasional.kompas.com/)
Koreksi bersama
          Melihat polarisasi di atas, rasanya perlu pemahaman bersama pada hal-hal berikut. Anggap saja ini sebagai koreksi bersama kita semua. Pertama, masyarakat diminta tidak belebihan dalam mencinta dan membenci tokoh. Polarisasi masyarakat sebenarnya terjadi karena mereka berlebihan dalam mencintai atau membenci. Dalam media sosial, mencintaii berlebihan disebut lovver. Sebaliliknya, haters bagi yang membenci.  Sikap lovver dan haters terhadap tokoh  semisal Jokowi- SBY yang membuat masyarakat kita terbelah. Sebab itu, ke depan kita semua dituntut untuk bersikap proporsional dalam menilai, mengaggumi seorang tokoh.
Kedua, kritik itu idealnya menyertakan solusi. Terkait dengan ini ada cerita menarik. Ada seorang pelukis pemula ingin  menguji lukisannya. Ia meletakan  salah satu lukisannya di pinggir jalan.  Kemudian ia menuliskan pesan, saya adalah pelukis baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Silakan beri tanda silang di tempat saya membuat kesalahan.  Sore harinya, saat ia kembali ke jalan itu, dia mendapati lukisannya sudah dipenuhi tanda silang.
Lain waktu, sang pelukis melakukan hal yang sama kembali memajang tulisan  jalan yang ramai. Kali ini dengan pesan berbeda. Ia menulis,  saya adalah pelukis baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Saya menyediakan kuas dan cat warna. Kalau Anda menemukan sesuatu yang kurang sempurna, silakan perbaiki agar menjadi lebih baik. Sorenya,  ia  terkejut karena melihat lukisannya tidak berubah. Tidak ada seorangpun yang menyentuhnya. Tidak satupun yang melakukan perbaikan pada lukisannya.
Apa arti di balik kisah di atas? Memberi kritik itu mudah. Ini terlihat pada kasus pertama. Semua orang bisa melakukan. Gampang, Cuma mencari kesalahan. Saat pelukis meletakan lukisannya yang pertama, semua orang memberi tanda silang. Sebagian memberi komentar, bahkan ada yang mengejeknya. Sebaliknya, memberi solusi itu tidak mudah. Tidak semua orang bisa. Ketika pelukis meminta orang memperbaiki lukisannya. Tak satu pun yang melakukannya. Nah, di negeri ini semua warga negara (termasuk Pak SBY) dapat mengkritisi pemerintah. Namun alangkah bijak bila melakukanya dengan memberi solusi. Kalau ada yang mengkritisi Jokowi tak menyertai solusi, jangan-jangan itu adalah haters yang gagal move on.
Ketiga,  setiap orang harus siap dikritik. Tidak boleh alergi terhadap kritik. Namun jangan mudah mengikuti kata orang. Karena itu, mencirikan orang tak berpendirian.  Dulu, ada seorang pengembara berkelana dengan anaknya mengendarai keledai. Anaknya duduk di atas keledai, sang orang tua menuntun keledai. Di pinggir jalan, orang membicarakannya. Mereka berpendapat, itu anak tak memiliki sopan santun. Kenapa orang tua yang menuntun di bawah sedang ia duduk manis di atas?
Mendengar gunjingan orang, sang anak meminta turun. Ia memberi kesempatan ayahnya duduk di atas punggung keledai. Perjalanan kembali dilanjutkan. Saat melintasi keramain, mereka berdua kembali dikritisi. Masyarakat sekitar mengomentari kenapa sang ayah tak menyayangi anaknya membiarkan  menuntun keledai di bawah. Sekarang giliran sang ayah yang merasa risih menjadi omongan orang banyak.
Setelah berdiskusi singkat, ayah dan anak  bersepakat untuk tidak menggunakan keledai. Mereka berdua menuntun binatang itu. Punggung keledai dibiarkan, tak berpenumpang. Orang pun kembali menggerutu. Ayah dan anak itu bodoh sekali. Ada keledai kok tidak digunakan sebagai kendaraan. Ternyata tak ada pilihan yang benar. Semua disalahkan orang.
Kisah klasik di atas menjadi pelajaran buat kita. Bahwa tidak ada orang yang dapat memuaskan semua orang. Setiap pendapat, tindakan, atau kebijakan yang diambil pasti menuai pro dan kontra. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menyambar. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin banyak hujatan, kritik. Sebab itu menjadi orang besar seperti pemimpin kudu siap dihujat, dikritik. Bila tak siap dikritik, jadilah orang biasa. Pasti sepi kritik. Singkatnya, setiap dari kita (termasuk Pak Jokowi) harus siap dikritik.
Walhasil, polarisasi itu tak perlu. Kita, sebagai bangsa besar harus tetap kuat, bersatu. Bangsa besar adalah bangsa yang lihai mencari solusi, kritis terhadap setiap persoalan. Bangsa besar juga bangsa yang demokratis yang siap menerima saran, kritik dari siapa saja. Siapa pun kita (Jokowi, SBY atau rakyat jelata) berhak mengkritisi, siap dikritisi serta gemar mencari solusi. Wa Allahu Alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar