Kamis, 24 Maret 2016

Politisi, Kenapa Harus Takut?


          Politik memang unik. Dalam berpolitik ada tawa, tangis, juga rasa takut. Saat menggapai tujuan dan ambisi, kebahagiaan datang beriringan dengan tawa. Ketika gagal meraih apa yang dicitakan, kesedihan dan tangiisan  tak terhindari. Kemudian  bila ancaman menghadang,  rasa takut membayangi kegagalan. Bagi politisi tawa, tangis dan taku  terekspersikan secara berbeda. Tawa diekspresikan dengan perayaan syukuran atau pesta kemenangan atas kesuksesan yang diraih. Semua orang yang terlibat merasakan. Team sukses, sponsor, juga massa pendukung akan menikmati hasil jerih payah mereka.
Tangisan saat kalah diungkapkan politisi dengan menggugat sang pemenang. Mencari seribu cara mengungkap kecurangan. Menyiapkan puluhan pengacara untuk kembali bertarung di ranah hukum. Berbeda ketika menang,   team sukses, sponsor,  massa pendukung cukup meratapi. Selanjutnya jajaran elit partai dengan para pendekar hukum yang berusaha keras meraih kesuksesan yang hampir hilang. Politisi kerap tak siap kalah. Buktinya sengketa Pilkada serentak beberapa waktu lalu menumpuk di MK. Hampir semua daerah menggugat.
Jika ada ancaman yang menghadang, menghalangi impian politik. Politisi menghadapi dan menyikapinya berbeda lagi. Takut kalah melahirkan kepanikan. Kepanikan kadang menggiring ke pilihan yang tak rasional, yang bertentangan dengan logika masyarakat. Maka dipilihlah strategi sesat menyesatkan. Walau, masih ada politisi yang bersikap realistis. Dengan optimisme, mereka mencari strategi jitu.
Terkait dengan rasa takut politisi, menarik bila mengamati isu politik mutakhir. Poltik nasional mencerminkan ketakutan para politisi. Pertama, soal banyaknya para pejabat (dari kalangan politisi seperti anggota legislatif, kepala daerah) yang tidak melaporkan harta kekayaan. Kedua, rencana revisi Undang-undang Pilkada akibat Ahok efek.
Kekayaan pejabat
          Belum lama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis, banyak pejabat negara yang tidak atau belum mengumpulkan laporan harta kekayaan. KPK menyatakan tingkat kepatuhan pejabat untuk melaporkan harta kekayaan belum terlalu tinggi. Menurut data KPK,  sekitar 30 persen pejabat belum melaporkan kekayaannya. 
Lebih mengejutkan, menurut Koalisi Masyarakat untuk Parlemen Bersih,  ternyata anggota DPR yang paling banyak.  Arief Rachman, kordinator koalisi menyebutkan setidaknya ada 60 persen anggota DPR yang belum melaporkan kekayaannya. Saat ini jumlah anggota DPR mencapai 560 orang. Karenanya pihaknya mendesak KPK membuka daftar nama anggota DPR yang tak melaporkan kekayaan.  (https://nasional.tempo.co)
Melaporkan harta kekayaan bagi para penyelenggara negara merupakan tuntutan Undang-undang. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor  28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Keputusan Komisi Pemberantas Korupsi Nomor: KEP.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Apa yang dilakukan para politisi di senayan menimbulkan tanya,  kenapa mereka tidak melakukan? Ada apa di balik strategi menyembunyikan kekayaan seperti itu? Menurut hemat saya ini bagian dari rasa takut para politisi terhadap ancaman terhadap kekayaan yang mereka timbun. Hal  itu sekaligus menjadi ancaman terhadap eksistensi mereka di pentas politik nasional. Bukankah dari rekening gendut, transaksi yang mencurigakan, atau perkembangan kekayaan yang tak logis bisa menjadi pintu masuk pada jeratan korupsi oleh KPK? Dan  pastinya akan menghancurkan karir dan mimpi politik yang sedang dibangun.
Isu Revisi UU Pilkada 
Paling mutakhir adalah isu revisi UU Pilkada. Kalangan DPR berencana merivisi UU tentang Pilkada. Isu revisi UU Pilkada sarat dengan muatan politik. Diyakini khalayak ada motif pencegalan terhadap calon independen. Sebabnya tak lain karena diantara yang menjadi fokus revisi adalah syarat pencalonan calon independen. Syarat dukungan direncanakan dinaikan menjadi 10%- 15% atau 15%-20% dari jumlah DPT.
Fakta politik di atas, saya melihatnya sebagai Ahok efect. Sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berencana mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2017 lewat jalur independen. Ahok yang sempat merapat ke PDIP itu akhirnya mengikuti saran Teman Ahok memilih jalur independen. Seperti diketahui, sebagai bakal calon potensial berdasarkan hasil berbagai survei tentu banyak partai politik yang mengincar, ingin mencalonkan termasuk PDIP.
Kekecewaan PDIP ditujukkan elit politik partai banteng mocong itu dengan mendiskriditkan relawan yang tergabung dalam Teman Ahok. Mereka dianggap telah melakukan deparpolisasi. Yakni usaha melemahkan dan menghilangkan pengaruh partai politik. Padahal   Teman Ahok merupakan komunitas anak muda yang peduli dengan daerahnya. Mereka bermimipi memiliki pemimpin yang bebas dari kepentingan parta politik. Pemimpin yang hanya bekerja untuk rakyat. Untuk tujuan itu  mereka mempercayai Ahok.
Ahok effect telah menggebrak parlemen. Para poltisi mulai takut fenomena Ahok diikuti di daerah lain. Menurut Pengamat Politik dari IndoStrategi, Pangi Syarwi Chaniago Ahok efect sesuatu yang tak mustahil.  Bakal banyak calon kepala daerah meninggalkan parpol, tidak mau terikat dan menjadi hamba parpol dengan jalur independen. Revisi UU Pilkada, bertujuan mengantisipasinya. Ini adalah langkah partai agar kembali laris dan laku, serta stategi partai untuk menjegal kemungkinan Ahok Effect. (http://sp.beritasatu.com/)
Hal di atas diakui  oleh Sekretaris Fraksi Hanura di DPR, Dadang Rusdiana. Menurutnya,  wacana memperberat syarat bagi calon independen untuk maju dalam pilkada muncul karena kekhawatiran terhadap sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Jika Ahok mampu memenangi Pilkada DKI Jakarta 2017 melalui jalur independen, maka hal tersebut dikhawatirkan akan menjadi inspirasi bagi calon di berbagai daerah untuk maju melalui jalur tersebut. (http://nasional.kompas.com/)
Akhir kata, politisi akan dihantui rasa takut  ketika kepentingan politiknya terancam. Mengekspresikan rasa takut dalam batas wajar dan rasional itu tak masalah. Menjadi problem ketika rasa takut itu disikapi secara  berlebihan bahkan tak masuk akal. Politisi tak harus takut melaporkan kekayaan. Politisi tak perlu panik dengan fenomena Ahok beserta effect-nya. Ketakutan berlebihan pada kedua persoalan itu membuat rakyat tertawa. Rakyat merasa geli melihat pola, tingkah laku para  poltisi. Dalam pikiran mereka, kenapa para politisi harus takut? Wa Allahu Alam
Tulisan Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Senin 21 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar