Jumat, 11 Maret 2016

Menolak Politik Balas Jasa


          Sebanyak 17 pasang Gubernur dan 199 pasang Walikota/Bupati telah dilantik. Kepala daerah hasil Pilkada serentak itu telah resmi menjadi pimpinan di daerah mereka masing-masing. Sekarang mereka mulai berbena, memahami persoalan, bersosialisasi dengan bawahan serta menyiapkan gebrakan. Setiap kepala daerah memiliki visi-misi. Visi-misi tersebut akan dijadikan acuan rakyat mengukur kinerja mereka. Di samping itu tentu janji-janji saat kampanye juga akan dinanti realisasinya.
          Dalam meraih sukses memenangkan Pilkada, kepala daerah telah mengeluarkan biaya cukup besar, dukungan dari berbagai pihak. Dukungan datang dari para pengusaha, birokrat dan tokoh masyarakat. Dukungan politik seperti itu tentu tak gratis. Ada transaksi  yang disepakati. Ada kepentingan yang dijanjikan.  Bahkan ada jabatan, kursi atau posisi yang ditawarkan.
          Pada banyak kasus, birokrasi yang berstatus Pegawai Negeri Sipil kerap dijadikan rebutan para calon kepala daerah. Alasanya karena jumlah mereka cukup besar, juga karena posisi mereka di pemerintahan. Padahal  menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, PNS dituntut netral. PNS yang mustinya bersikap netral itu dimanfaatkan untuk  kepentingan mendukung calon kepala daerah. Dan biasanya pasangan incumbent memilki peluang lebih besar menguasai birokrasi karena kedekatan sebelumnya.
          Setelah menjabat, kepala daerah menghadapi berbagai macam tagihan. Tagihan datang  dari para pendukung yang telah berjasa mengantar sang kepala daerah ke tampuk kepemimpinan. Politik balas jasa menjadi  fakta nyata di berbagai daerah. Kepala daerah akan membagi kursi, jabatan atau posisi penting kepada mereka yang berjasa.
          Persaingan saat Pilkada telah menyisahkan dendam politik. Sebagian kepala daerah melampiaskan dendam tersebut dengan menggeser, memutasi bahkan  memecat mereka dari kalangan birokrasi yang telah menjadi lawan politknya. Kasus seperti ini disebut sebagai politik balas dendam. Di awal kepemimpinan kepala daerah yang baru, bagi sebagian birokrat (para pegawai daerah) yang dianggap sebagai lawan politk menjadi masa yang menakutkan. Ancaman mutasi, pergeseran, pencopotan telah nyata di depan mata. Posisi, kedudukan mereka akan diganti oleh mereka yang telah berjasa pada kepala daerah terpilih.
          Fenomena dan kecenderungan di atas bukan mengada-ada. Praktek politik balas jasa dan balas dendam seusai dilantik sebagai kepala daerah mulai tercium Kementerian Dalam Negeri. Politik balas jasa dalam hal ini dengan menempatkan orang dekat atau tim sukses dalam posisi pejabat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), adapun politik balas dendam dengan menyingkirkan birokrat yang tidak mendukung kepala daerah terpilih saat pemilihan.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono menegaskan jajarannya sudah melihat gerak-gerik dari para kepala daerah untuk membuat kabinet baru yang diisi orang dekat, begitupula dengan persiapan mutasi yang bakal menggusur pejabat yang kontra dengan kepada daerah. (http://www.mediaindonesia.com/)
          Untuk itu, meski telah jelas diatur dalam Pasal 162 UU Pilkada dimana kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat selama enam bulan setelah dilantik, namum Kemendagri akan menegaskan aturan tersebut dalam Surat Edaran Mendagri yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Selain melarang penggantian pejabat sebelum enam bulan menjabat, Surat Edaran itu juga mengatur kepala daerah untuk mengembalikan uang negara jika tetap mengganti pejabat dengan orang dekat. Penggantian uang negara itu karena orang dekat yang menggantikan mendapat gaji dan tunjangan yang diambil dari APBD.
          Dalam melakukan pengawasan, Kemendagri berencana akan memaksimalkan inspektorat daerah, selain itu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk melakukan supervisi. Masyarakat luas pun diminta untuk bersama-sama mengawasi. Sehingga apa yang dikhawatirkan oleh kita semua terkait munculnya politik balas jasa atau politk balas dendam di awal pemerintahan para kepala daerah yang baru  dapat dicegah.
Bagaimana Seharusnya
          Untuk menopang visi-misi dan program kerja, seorang kepala daerah dianggap wajar melakukan pengangkatan, pergantian pejabat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Namun demikian, hal itu harus sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, mempertimbangkan dan mengutamakan hal-hal berikut. Pertama, aspek profesionalisme. Artinya pengangkatan seorang pejabat bukan berdasarkan kedekatan atau balas jasa semata. Kepala daerah tidak boleh seenaknya mengangkat atau memberhentikan orang. Tidak dapat dibayangkan bila satu posisi dijabat oleh orang yang tak memahami dan menguasai persoalan. Jaabatan bila diberikan kepada orang yang tidak profesional (baca:bukan ahlinya)  maka tunggulah saat kehancurannya.
          Kedua, dilakukan sesuai kebutuhan. Pengangkatan dan penggantian pejabat yang dilakukan kepala daerah di lingkungan SKPD harus sesuai kebutuhan. Artinya kalau memang tidak perlu pergantian, maka tak ada alasan untuk melakukannya. Berilah kesempatan kepada pejabat yang lama untuk bekerja lebih baik lagi. Karenanya, kepala daerah perlu melakukan evaluasi dan kajian terlebih dahulu sebelum melakukan pergantian pejabat. Evaluasi dan kajian itu yang dijadikan pertimbangan perlu tidaknya perombakan pejabat. Evaluasi dan kajian tentu butuh waktu cukup. Oleh sebab itu, Kemendagri memberi batas minimal dengan kurun waktu enam bulan. Tidak begitu dilantik langsung melakukan perombakan. Itu jelas sesuatu yang gegabah. Hal itu juga mengisyaratkan dengan jelas praktek politik balas jasa.
          Ketiga, memperhatikan kaderisasi dan regenerasi. Dalam satuan kerja pasti ada kaderisasi dan regenerasi. Kaitan dengan ini kepala daerah seyogyanya mendukung. Kepala daerah tidak boleh mematikan semangat kaderisasi dan regenerasi tersebut. Sebab itu, pengangkatan pejabat lebih baik mengutamakan dari internal satuan kerja.
          Akhir kata, fenomena politik balas jasa harus ditolak. Masyarakat dituntut berperan aktif mengawasi kepala daerah baru. Kepala daerah tidak boleh mengangkat atau mengganti pejabat di lingkungan SKPD kecuali setelah enam bulan setelah pelantikan seperti diatur dalam Undang-undang  tentang Pilkada Pasal 162. Para kepala daerah dalam merombak jajaran pejabat di SKPD harus mengedepankan profesionalitas, asas kebutuhan, kaderisasi dan regenerasi. Praktek politik balas jasa atau balas dendam akan menghambat kepala daerah dalam merealisasikan visi-misi, program kerja dan janji kampanye.  Wa Allahu Alam


          .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar