Jumat, 11 Maret 2016

Politik “Menunda” Ala Jokowi


          Dalam rapat konsultasi Pemerintah dan DPR (22/2) disepakati akan menunda pembahasan dan pengesahan revisi Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Jokowi menegaskan, pemerintah menghargai dan menghormati dinamika politik yang berkembang di parlemen terkait usulan revisi UU tentang KPK. Namun aspirasi yang berkembang dalam masyarakat seyogyanya diperhatikan, didengar oleh Pemerintah dan DPR. Perlu kajian mendalam dan  sosialisasi yang cukup kepada masyarakat tentang rencana revisi UU tentang KPK tersebut.
          Sementara Ketua DPR RI, Ade Komarudin mengatakan sikap Presiden Jokowi sama dengan sikap mayoritas fraksi di DPR. Lebih lanjut, Presiden Jokowi hanya meminta agar pembahasan revisi UU KPK itu ditunda hingga ada kejelasan kepada publik mengenai sejumlah poin dalam revisi tersebut. Karenanya, rencana revisi UU tentang KPK tetap masuk dalam prolegnas tahun 2016.
          Usulan revisi UU tentang KPK telah menuai bayak kritik tajam dari masyarakat terutama pegiat anti korupsi.  Kritik itu bermuara dari pemahaman bahwa revisi itu akan melemahkan KPK. KPK selama ini lebih dipercayai oleh masyarakat. Kepercayaan itu  tidak muncul begitu saja. Kepercayaan itu diperoleh karena sepak terjang KPK dalam menangkap para koruptor.
Setidaknya, ada empat poin yang dianggap akan melemahkan KPK dalam revisi, yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta kewenangan rekrutmen penyelidik dan penyidik.
Penolakan terhadap revisi UU tentang KPK datang dari berbagai kalangan masyarakat, diantaranya Forum Guru Besar. Forum ini terdiri dari 23 guru besar dari perguruan tinggi ternama seperti IPB, UI, UGM,  Unsoed dan lainnya. Penolakan mereka disampaikan melalui surat yang dikirim ke presiden.  Para guru besar  mengusulkan cara penolakan revisi yang dapat dilakukan Presiden.
Pertama, tidak mengeluarkan surat presiden atau tidak menugaskan menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU KPK bersama DPR. 

Kedua, Presiden dapat meminta semua partai politik yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah untuk membatalkan niat melakukan revisi UU KPK, sebagaimana keinginan seluruh rakyat Indonesia.  Lebih jauh, mereka juga siap membantu Presiden dalam memberikan masukan dan pertimbangan secara akademik dalam rangka penolakan revisi UU KPK.
Majlis Ulama Indonesia juga melakukan hal yang sama. Seperti disampaikan Najamudin Ramli, MUI menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Sebab, draft revisi tersebut dinilai tidak untuk memperkuat KPK tapi akan melemahkan. Revisi merupakan tindakan mereduksi kewenangan KPK.
Penolakan terhadap rencana DPR mengajukan revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dituangkan dalam bentuk petisi "Jangan Bunuh KPK, Hentikan Revisi UU KPK". Petisi ini diprakarsai oleh Suryo Bagus melalui situs change.org/janganbunuhkpk.  Hingga Jumat (9/10/2015) pukul 07.00 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 23.148 pendukung. Melalui petisi tersebut, masyarakat menyurati Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR untuk menolak usulan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan mencabut revisi tersebut dari Program Legislasi Nasional. (http://nasional.kompas.com/)
Sedangkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan semua pasal dalam draf revisi Undang-Undang KPK adalah bentuk pelemahan terhadap lembaga antirasuah tersebut. Hal ini yang mendasarkan dirinya berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo untuk menghentikan rencana revisi di parlemen Senayan. Lebih jauh,  Agus Rahardjo akan mundur jika pemerintah dan parlemen tetap bersikukuh melakukan revisi dan menghasilkan undang-undang yang justru melemahkan KPK.
Menunda
          Penolakan dari publik nampaknya belum mendorong keberanian Presiden Jokowi menolak tegas revisi. Jokowi memilih menunda pembahasan. Ini yang disayangkan oleh Peneliti Pukat UGM, Hifddzil Alim. Menurutnya, penundaan revisi UU KPK tidak menyelesaikan inti masalah berupa pelemahan KPK melalui undang-undang. Pasalnya, dalam beberapa bulan berikutnya bukan tidak mungkin usulan revisi akan muncul lagi. Jika usulan revisi kembali muncul, Hifdzil memastikan gelombang penolakan akan semakin besar.(Jateng.metrotvnews.com )
          Hal yang sama disampaikan oleh Guru besar hukum Sulistyowati Irianto. Ia  menyarankan Presiden Joko Widodo tidak sekadar menunda pembahasan revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, Presiden perlu memperhatikan bentuk pelemahan KPK, termasuk kriminalisasi.
          Penundaan ini sebenarnya bukan yang pertama. Sebelumnya Presiden Jokowi juga melakukan hal yang sama terkait rencana revisi UU tentang KPK tersebut. Ini yang menjadi pertanyaan banyak pihak. Ada apa sebenarnya? Padahal dalam berbagai kesempatan Jokowi selalu menyampaikan bahwa revisi tidak perlu dilakukan kalau untuk melemahkan KPK. Apa ini bagian strategi atau politik Jokowi dalam menolak revisi?
          Premis-premis berikut barangkali bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama, Jokowi adalah presiden yang tak mengendalikan partai. Jokowi bukan ketua partai. Karena dukungan rakyat, partai mempercayainya menjadi capres. Dan terpilih menjadi Presiden. Karenanya sebutan petugas partai kerapkali dilekatkan pada dirinya. Posisi ini menjadi kelemahan bagi Jokowi. Jokowi seringkali kesulitan melepas kepentingan partai pengusung yang berbeda dengan pendapat dan prinsip dirinya. Kasus seperti ini juga terlihat jelas pada kasus pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
          Kedua, seperti diketahui PDIP sebagai partai pengusung utama adalah partai pertama  yang mengusulkan revisi UU tentang KPK. Sudah lama partai pimpinan Megawati Sukarno Putri ini menginginkannya. Bahkan dalam kasus papa minta saham di MKD disinyalir ada barter politik. Yakni PDIP akan melunak di MKD dengan syarat partai lain mendukung revisi KPK yang digagas.
          Ketiga, gaya politik Jokowi yang tidak frontal. Penundaan revisi KPK bisa jadi sebagai ruang mengulur waktu. Jokowi mungkin belum berhasil melobi PDIP juga partai lain. Ini gaya berpolitik Jokowi yang beberapa kali dimainkan dalam isu-isu politik yang sensitif sseperti soal revisi UU KPK.
          Terlepas dari semuanya, rakyat pastinya menunggu sikap tegas Jokowi menolak revisi KPK. Karena seperti yang diyakini, revisi tersebut akan melemahkan KPK. Padahal KPK merupakan lembaga super body yang sangat dipercaya dan didukung oleh rakyat dalam memberantas korupsi. Wa Allahu Alam
Dimuat Di Harian Radar Cirebon, 22 February 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar