Kamis, 24 Maret 2016

Gaduh Pindah Ke DPD


          Di tengah sorotan khalayak terhadap eksistensinya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) justru mempertontonkan kegaduhan pada rakyat. Rapat paripurna  DPD (17/3) berlangsung ricuh. Kericuan dipicuh oleh penolakan Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhamad selaku pimpinan rapat untuk menandatangani perubahan tata tertib DPD yang telah disepakati. Pimpinan DPD beralasan, pihaknya menolak menandatangani disebabkan revisi tata tertib hasil rapat paripurna 17 Februari itu bertentangan dengan Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) Pasal 300.
Dalam tata tertib itu diantaranya memperpendek masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Pada rapat paripurna sebelumnya (17/2) telah disepakati perubahan  tata tertib tersebut. Dalam rapat itu mayoritas anggota DPD menyetujui perubahan masa jabatan tersebut. Keputusan diambil melalui cara voting. Dari 63 anggota DPD yang hadir, 44 orang setuju masa jabatan pimpinan DPD dipangkas. Hanya 17 anggota yang mendukung masa kerja pimpinan DPD tetap lima tahun. Sementara dua anggota memilih abstain.
          Usulan mempersingkatan masa jabatan pimpinan DPD terjadi ketika panitia khusus (pansus) tata tertib dibentuk sekitar delapan bulan lalu. Dalam rapat paripurna, DPD menyetujui pembentukan pansus untuk merevisi tata tertib. Adapun wacana perubahan tata tertib disebabkan banyaknya anggapan bahwa kinerja DPD  sangat rendaah.  Selama ini DPD tidak ada output-nya. Pansus pun terus bekerja merumuskan tata tertib baru yang lebih baik. Salah satu yang diatur adalah mempersingkat masa jabatan seluruh alat kelengkapan, termasuk pimpinan DPD, menjadi hanya 2,5 tahun.
          Gaduh di DPR menular, pindah ke DPD, apa yang melatar belakangi? Kegaduhan di DPR disebabkan dominasi kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Bagaimana di DPD? Apa mereka ricuh untuk bangsa dan negara? Melihat apa yang jadi pemicuh jelas bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Perbedaan kepentingan, ambisi kekuasaan individu dan kelompok menjadi sebab nyata.
          Pemicuhnya adalah soal perlu tidaknya pemangkasan masa  jabatan pimpinan. Ini memunculkan tanya,  ada apa dengan jabatan para pemimpin DPD? Apa ada kesenjangan yang mencolok antara pimpinan dan anggota yang melahirkan kecemburuan? Bila disebabkan kecemburuan tentu kita prihatin. Ternyata tidak beda  dengan para politis di lembaga  lain, senator DPD masih berkutat dalam kubangan kepentingan individu. Mereka tidak lagi memperjuangkan aspirasi daerah seperti fungsinya.
          Mereka berebut jabatan, kursi dan materi. Para anggota DPD rupanya tergiur dengan simbol-simbol dan tampilan formal sang Ketua. Di antara mereka ingin  menikmatinya. Mungkin mereka   tak puas dengan fasilitas dari harta rakyat yang besarannya sangat 'wah'. Padahal mereka rata-rata bisa menikmati di atas Rp100 juta rph per-bulan. Barangkali mereka tergiur dengan  pelayanan protokoler,  mobil mewah, rumah dinas, dan sebagainya. Mereka hanya mengejar fasilitas. Mereka tak pernah mengintropeksi diri. Bukankah kinerja DPD sangat rendah, nyaris tak ada yang dibanggakan.
          Kegaduhan ini sangat disayangkan. DPD sejatinya meningkatkan peran dan fungsinya. Berbagai kalangan mempertanyakan keberadaanya. DPD dianggap antara ada dan tiada.  Eksistensi DPD tak dirasakan rakyat. DPD dipandang sekadar aksesoris demokrasi.  Tapi harapan tinggal harapan, DPD justru mengikuti jejak DPR yang gemar gaduh untuk urusan yang tak penting bagi rakyat.
          Mantan Wakil Ketua DPD, Loede Ida menegaskan kericuhan dan kegaduhan ini sangat memalukan dan menyedihkan, tak pantas dilakukan oleh para senator DPD. Pimpinan DPD  dianggap membangkang dengan putusan rapat paripurna. Sehingga merasa perlu memaksanya untuk tanda tangan di depan paripurna. Tapi Irman Gusman dan Faroukh M rupanya tetap tak mau, sehingga langsung mengetuk palu sidang tanda rapur ditutup. (http://news.metrotvnews.com/)
          Lebih Jauh, marwah lembaga wakil daerah itu menjadi hancur akibat ulah figur-figur di dalamnya. Mereka merusak citra lembaga, citra para tokoh daerah, serta marwah bangsa. Pasalnya soal kursi atau jabatan pimpinan. Sebagian besar anggota mungkin tak puas dengan kinerja pimpinan sehingga merasa perlu segera disingkirkan. Itu hanya logika mereka, atau memang benar adanya. Namun kecumburuan anggota terhadap segala fasilitas pimpinan justru terlihat menonjol di permukaan.
DPD, intropeksilah
          DPD sebelumnya sepi. Tidak ada dinamika yang berarti.  Kinerja mereka nyaris tak terdengar. Belum lama Ketua Umum PKB pernah mewacanakan membubakannya. Sebab, DPD dianggap sudah tak layak dipertahankan. DPD hanya memboroskan uang negara, tersedot oleh figur-figur yang hanya bangga dengan jabatan seraya cari ruang perebutan kekuasaan di lembaga negara yang ompong itu.
          Kegaduhan harus segara dihentikan. Apalagi gaduh yang tak produktif, tak menguntungkan apa-apa bagi rakyat. Sebab itu, sorotan publik sejatinya lebih menjadikan mawas diri. Tidak sebaliknya. Saya melihat ada kesalahan langkah, blunder. DPD  harusnya membuat trobosan, gebrakan di tengah sorotan tersebut. Misalnya, mengusulkan dan memperjuangkan amandemen UUD 1945 terkait kewenangannya. Bukankah selama ini kewenangan DPD yang minim dianggap sebagai alasan tak mampunya DPD berperan lebih seperti harapan masyarakat?
          Kemudian bercermin pada DPR yang dinilai mandul, tak banyak melahirkan aturan (legislasi), DPD sebenarnya dapat memberikan secercah harapan  kepada rakyat dengan produktif mengusulkan RUU terkait daerah. Banyak daerah yang menanti peran aktif DPD, dalam wacana pemakaran  misalnya.  Seperti wacana propinsi Cirebon, sampai hari ini tak memperlihatkan perkembangan berarti. Dimana peran DPD?
          Tegasnya, intropeksi diri merupakan pilihan wajib bagi DPD sekarang. Cepat akhiri kegaduhan. Kegaduhan seperti ini hanya menghabiskan energi. Lihatlah jauh ke depan. Banyak problematika bangsa yang butuh penyelesaian. Kegaduhan, perebutan jabatan tak akan menghasilkan apa-apa selain mengoyak persatuan dan kebersamaan.
          Singkat kata, sangat disayangkan gaduh yang tak produktif beralih ke DPD. DPD gaduh bukan pada hal prinsip yang terkait kesejahteraan rakyat. Kegaduhan mereka hanya berebut kepentingan, jabatan.  Terlebih kegaduhan itu di tengah sorotan terkait keberadaanya yang diyakini rakyat tak berarti. Karenanya, tak perlu berlama-lama, anggota DPD cepat intropeksi diri. Bila itu tak dilakukan, dorongan pembubaran akan semakin kuat, menjadi kenyataan. Wa Allahu Alam



         
         
         
         
         

         

         
         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar