Jumat, 11 Maret 2016

Meninbang “One State Solution” Bagi Palestina


          Konferensi Tingkat Tinggi  (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tentang nasib bangsa Palestina telah selesai.  KTT yang diselenggarakan pada 6-7 Maret itu dibuka oleh Perdana Menteri Mesir selaku Ketua KTT OKI ke-12 dan ditutup oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam sambutannya, Jokowi menegaskan kembali pentingnya bagi OKI untuk meningkatkan dukungan terhadap Palestina melalui sejumlah langkah konkret, yakni pertama penguatan dukungan politis untuk menghidupkan kembali proses perdamaian. Dia menekankan perlunya peninjauan kembali Kuartet dengan kemungkinan penambahan anggotanya. Kedua, penguatan tekanan kepada Israel termasuk boikot terhadap produk Israel yang dihasilkan di wilayah pendudukan. Ketiga, peningkatan tekanan pada DK PBB untuk memberikan perlindungan internasional bagi Palestina dan penetapan batas waktu pengakhiran pendudukan Israel. Keempat, penolakan tegas atas pembatasan akses beribadah ke Masjid Al-Aqsa serta tindakan Israel mengubah status-quo dan demografi Al-Quds Al-Sharif. Kelima, pemenuhan kebutuhan kemanusiaan yang dipandang mendesak. (http://www.antaranews.com/)
          Penyelesaian konflik Palestina-Israel telah diupayakan berbagai pihak, berbagai organisasi, berbagai negara, juga  PBB. Perundingan kedua belah pihak tak terhitung berapa kali dilakukan. Tapi, sampai saat ini konflik berkepanjangan itu belum menemukan titik penyelesaian. Belum mendapatkan solusi yang bisa disepakati dan dilaksanakan secara bersama.
 “One State Solution”
          Secara garis besar opsi terkait penyelesaian konflik Palestina dapat ditarik pada tiga kesimpulan. Pertama, anggapan perang sebagai solusi. Kekuatan militer dijadikan alat untuk saling menaklukkan. Israel menghabisi bangsa Palestina atau Palestina menghabisi  Yahudi Israel. Tak ada jalan keluar kecuali perang. Diplomasi, perundingan tak akan bisa menyelesaikan. Ini yang diyakini kaum radilkal.
Kedua, usulan two-state solution (dua negara berdiri berdampingan).  Usulan ini yang diserukan PBB. Yakni baik Palestina maupun Israel dapat mendirikan negara. Keduanya berdampingan sebagai negara merdeka. Palestina- Israel harus menyepakati batas wilayah. Dan soal batas wilayah ini menjadi persoalan pelik yang belum terselesaikan hingga saat ini. Di mata bangsa Palestina, Israel kerap merebut, menduduki wilayah mereka. Begitu anggapan sebalinya. Konflik  di perbatasan menyulut perang di tanah Palestina selama puluhan tahun. Belum lagi persoalan willayah Al-Quds. Baik Palestina atau Israel merasa paling berhak atas tanah suci yang di sana ada masjid Al-Aqsho.
 Ketiga, usulan One State Solution. Gagasan ini di prakarsai beberapa negara termasuk Iran. One State Solution menawarkan solusi dengan menggabungkan dua bangsa Arab-Yahudi dalam satu negara merdeka. Yaitu  ide untuk mendirikan sebuah negara bersama Palestina-Israel, dengan dihuni oleh semua ras dan agama yang semuanya memiliki hak suara. Bila ide ini diterima, konsekuensinya Rezim Zionis dan Otoritas Palestina dibubarkan. Batas wilayah Palestina-Israel dilebur dan disatukan ke dalam satu negara. Kemudian para pengungsi diizinkan kembali ke rumah mereka masing-masing. Selanjutnya melaksanakan referendum oleh pihak independen yang dipercayai oleh kedua belah pihak (Palestina-Israel)  untuk menentukan bentuk pemerintahan serta menetapkan  pemerintahan yang sah.
          Ide One State Solution menarik untuk dikaji, didiskusikan. Hanya sayang, gagasan One State Solution tak diagenda dalam pembahasan KTT OKI beberapa waktu lalu. Maklum, karena negara-negara yang tergabung dalam OKI  memilih opsi kedua (Two State Solution) seperti yang diprakarsai PBB. Padahal sebagai sebuah gagasan, One State Solution layak menjadi bahan diskusi bersama. Semua pihak yang peduli dengan nasib Palestina layak mempelajarinya, paling tidak sebagai sebuah pilhan solusi. Bukankah selama ini upaya penyelesaian dengan opsi Two State Solution selalu menemukan jalan buntuh?
          Menurut Pengamat Timur Tengah, Dina Y Sulaeman (2016), Ide One State Solution dilandaskan pada pemikiran, pertama, jika Rezim Zionis terus berdiri, perang tidak akan pernah berhenti karena cita-cita Zionis adalah mendirikan negara khusus Yahudi dan untuk itu, mereka akan terus mengusir orang-orang Palestina demi memperluas wilayahnya.
Kedua, bila Palestina ingin mendirikan negara khusus Palestina dan mengusir keluar orang-orang Yahudi, perang juga akan terus berlanjut. Namun dalam perang ini, Palestina berada dalam posisi yang lebih lemah. Kenapa? Karena wilayahnya lebih kecil dan terpisah, dikepung oleh wilayah Israel, serta kekurangan logistik karena blokade Israel. Akibatnya, penindasan akan terus berlangsung di Palestina.
Nah, sekarang pertanyaanya, apakah kedua belah pihak akan bisa menerima gagasan itu? Bagi sebagian orang Palestina, berdiri satu negara dengan ‘perampok’ tanah air mereka  itu sesuatu yang mustahil. Mereka tak akan menerima. Demikian sebaliknya, untuk mayoritas orang Israel, melepaskan cita-cita historis pendirian “negara khusus Yahudi” juga hal yang tidal mungkin. Bagi mereka lebih baik mati daripada melepaskan cita-cita luhur ini.
Untuk mengatasi kesulitan di atas, menurut hemat saya ada beberapa upaya yang kudu diupayakan, pertama, membangun kesadaran dan kesamaan pandangan semua pihak yang bertikai untuk menciptakan negara yang demokratis dan adil. Masing-masing membuang egonya. Bukankah perang telah melulantakan kemanusan dan peradaban? Saatnya berpikir kepada sesuatu yang lebih bermartabat. Menciptakan kedamaian dan keadilan di bumi. Kaitan dengan ini, para cendikiawan, tokoh agama, pendidik dan akademisi sangat ditunggu peran serta mereka. Mereka harus dapat mencerahkan kedua bangsa yang bertikai terebut.
Kedua, membangun komitmen semangat mencari solusi. Bukan sebaliknya, mencari masalah sebagai alasan untuk saling menyerang satu sama lain. Semangat mencari titik temu harus dibangun. Dalam mencari solusi membutuhkan kelapangan hati semua pihak.
Akhir kata, seperti yang pernah diseruhkan Ahmadinejad, para pemikir,  cendekiawan, tokoh agama, akademisi selayaknya segera bangkit,  maju memperjuangkan penghentian kejahatan di bumi Palestina. One State Solution sebagai sebuah gagasan besar dapat dipahami, dikaji lebih jauh. Karena tidak mustahil One State Solution akan benar-benar menjadi solusi buat rakyat Palestina, juga Israel. Kita semua harus saling bergandengan tangan dalam melakukan usaha global untuk menegakkan perdamaian dan mengikis akar ketidakamanan dan ketidakadilan di dunia. Akhirnya usulan One State Solution untuk Palestina yang digagasan oleh beberapa negara layak dipertimbangkan di waktu yang akan datang. Wa Allahu Alam
Dimuat Radar Cirebon, Jumat 11 Maret 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar